Matanya mengerjap dan sayup-sayup suara orang bicara mulai menggetarkan gendang telinganya. Perlahan ia mulai menggerakkan kepalanya untuk melihat sekeliling dan hal itu pun disadari oleh pasangan paruh baya ini.
"Zulfikar, Le! Wes tangi kowe, Le?" Zulfikar masih diam memprosesnya.
(Zulfikar, Le! Udah bangun kamu, Le?)
Sedetik kemudian, dirinya dengan cepat langsung duduk menyamakan tingginya dengan pria yang mengajaknya bicara.
"Putri teng pundi, Bi?" tanyanya kemudian.(Putri dimana, Bi?)
"Mbok yo tenang sek to kowe, lagi wae tangi," ucap seorang wanita paruh baya yang mengenakan kerudung lumayan besar.
(Ya, tenang dulu to kamu, baru aja bangun)
"Ning, Umi. Mangkeh menawi Putri wonten napa-napa pripun, Mi?" sambungnya yang terlihat sedikit khawatir.
(Tapi, Umi. Nanti kalau Putri kenapa-kenapa gimana, Min?)
Baru saja ia hendak turun dari ranjang, lengannya ditahan oleh sesuatu, "Le, iso cerito sakjane ono opo?" Zulfikar diam dan berbalik menatap pria paruh baya bersarung itu.
(Le, bisa cerita sebenarnya ada apa?)
Dia kembali duduk dan mulai bercerita semua yang ia ketahui tentang Putri. "Terus, niatmu nggowo Putri rene tenanan po ora? Ojo ngasi koyo mbiyen meneh, Le. Abi karo Umi ora gelem."
(Terus, niatmu bawa Putri kesini beneran atau gak? Jangan sampe kayak dulu lagi, Le. Abi sama Umi gak mau)
"Saestu, Abi, Umi. Saestu kula badhe teng jenjang saklajengipun kalih Putri. Saestu kula mboten wantun ngapusi," jelas lelaki muda itu yang sedang kasmaran untuk kedua kalinya.
(Beneran, Abi, Umi. Beneran aku mau ke jenjang selanjutnya bareng Putri. Beneran aku gak berani bohong)
"Sakniki kula pamit badhe madosi Putri. Assalamualaikum." Zulfikar langsung melesat saat itu juga keluar kawasan pesantren.
(Sekarang aku pamit mau nyari Putri. Assalamualaikum)
😊😊😊😊😊
Durasi telepon berlangsung, "Halo, assalamualaikum, Han. Mau dijemput sekarang po nanti? Aku dah mau pulang ini," ujar Ali yang berjalan menuju tempat parkir motor bersama Farhan.
Bukannya menjawab, justru terdengar Isak tangis dari seberang. "Han, kamu nangis po?" Hal itu pun membuat Farhan menoleh ke arah temannya.
"Mas...," panggil istrinya dari seberang dengan suara bergetarnya.
"Iya-iya, kenapa? Cerita-cerita."
"Jemput sekarang, aku tungguin di tempat biasanya."
"Yowes nek gitu, beneran gak papa kamu?" tanyanya mencoba memastikan lagi.
"Gak papa," jawabnya dengan suara yang sangat lirih.
"Aku kesana sekarang, assalamualaikum."
"Kenapa?" Ali mengedikkan bahunya.
"Langsung pulang kamu?" Farhan mengangguk.
"Paling Ayu dah pulang. Lagian dia juga bawa motor sendiri." Setelahnya mereka pun berpisah untuk menuju tempat tujuan masing-masing.
Perjalanan yang tidak terlalu lama dan tidak terlalu singkat akhirnya selesai. Farhan kini sudah berada di teras rumahnya. "Assalamualaikum," baru saja satu langkah memasuki ruang tamu, dia disambut oleh tangis istrinya dan juga ibu mertuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Tanpa Damai
RandomDi usia yang masih sangat muda Ayu harus menerima fakta bahwa dirinya harus menjadi orang tua pengganti bagi keponakannya, Maya. Mau tidak mau dirinya juga harus menjadi tulang punggung keluarga disaat ayahnya juga ikut menjadi korban "kecelakaan"...