STD | | 39. Sisi Luar dan Dalam yang Berbeda

20 1 0
                                    

Waktu semakin berlalu dan kedudukan sang surya semakin menurun setiap detiknya. Cahaya yang terik kini berubah menjadi cahaya jingga yang indah untuk dinikmati sembari merehatkan batin yang lelah.

Sama seperti pasangan ini. Mereka menghabiskan waktu senja dengan bercengkrama berdua walau tidak memandang indahnya senja.

Mereka menikmati waktu senja dengan menonton televisi seraya menghilangkan penat akibat aktivitas seharian yang cukup melelahkan.

"Maya dimana, Yu?" tanya sang ibu yang baru keluar dari kamar dengan merasa ada hal yang perlu diluruskan.

"Di kamar, Bu."

"Kok le tumben betah banget," mendengarnya pasangan suami istri ini pun baru menyadari bahwa hal ini sangat jarang terjadi pada sang keponakan. Mereka berdua saling melempar tatapan satu sama lain.

Sang nenek memutuskan beranjak menghampiri sang cucu yang terus menyendiri di kamar sedari tadi. Hal pertama yang didapatkannya adalah cucunya yang berbaring ke arah tembok membelakangi pintu.

Melihatnya sang nenek langsung menghampiri dan menepuk pundaknya dengan sangat lembut. "Maya... . Maya kenapa? Kok cemberut sih," bujuk sang nenek penuh lemah lembut.

Namun, sang cucu tetap enggan untuk membalikkan dirinya walau sekadar berhadapan dengan sang nenek. "Maya..., jangan gitu, ya. Cerita sama Uti, yuk. Kenapa Maya cantik?" bujuk sang nenek untuk yang kedua kalinya.

Tetapi, sang cucu tetap teguh pada pendiriannya untuk tetap bungkam. Menyadari usahanya tak menuai hasil apapun, sang nenek pun memilih mundur dan menyerahkan hal itu pada sang putri untuk melakukannya. Siapa tahu dirinya mampu memikat hati gadis kecil itu untuk buka suara.

Senakal-nakalnya gadis itu, kebahagiannya, senyumannya, dan juga tawanya merupakan cahaya yang sangat berarti di hati orang-orang tersayangnya.

"Yu, coba itu dibujuk dulu," Ayu pun beranjak dari duduknya dan mulai melangkah menuju kamar keponakannya.

Dia segera menghampiri gadis itu, "Maya...," panggilnya pelan dari pinggir ranjang.

Tidak ada respon sama sekali. Ayu mendekat dan duduk di pinggir ranjang seraya membelai rambut hitam bocah itu, "Maya kenapa...? Jangan sedih gitu dong. Cerita sama Ante yuk!" bujuknya yang tetap tak membuahkan hasil apapun.

"Maya gak mau main sama Cimoy? Cimoy kangen lho," akhirnya Ayu mengeluarkan jurus pamungkasnya.

Namun, hal itu juga tidak berpengaruh apapun terhadap Maya yang sedang bersedih. Pada akhirnya Ayu pun melakukan hal yang ia tahan-tahan sedari tadi. Dia membalik badan bocah itu menjadi berhadapan dengan dirinya dan mendudukkannya secara paksa.

Di luar dugaannya, bocah itu justru meronta sambil berteriak. Mendapat respon yang tak terduga Ayu terus menahan keponakannya hingga merasa tenang dan berubah menjadi tangis layaknya seorang bayi.

Hal itu lah yang memancing Farhan datang dan menengok apa yang terjadi. Jujur dirinya pun merasa khawatir ketika mendengar suara melengking dari bocah itu.

Kini ia melihat keponakannya sedang menangis hebat sambil menatap sang istri yang terus memegangi kedua tangan ponakannya. Dia pun mendekat, "Kenapa?" tanyanya pada Ayu yang justru menggeleng.

"Sakit?" Ayu kembali menggeleng.

"Coba sini," Farhan ganti menggenggam kedua tangan kecil Maya.

"Maya..., kenapa kok nangis, hm?" tanya Farhan lembut sambil tersenyum dan mengelus lembut tangan kecil Maya. Namun, tangisan Maya justru semakin keras.

Melihat reaksi tersebut Farhan beralih menggendongnya, "Sayang, sayang sayang sayang...," ucapnya seraya menepuk pelan punggung Maya.

Bocah itu pun sekarang meluapkan segala air matanya di pundak sang paman. Hati Ayu tiba-tiba merasa damai melihat Farhan memperlakukan Maya layaknya putri kandungnya sendiri.

Senja Tanpa DamaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang