STD | | 56. Keris Merah

6 1 0
                                    

Para jamaah mulai membubarkan diri kembali ke aktivitasnya masing-masing. Hanya tinggal beberapa orang dewasa juga anak-anak termasuk imam.

Baru saja berbalik badan, sudah terdengar suara orang berlari. Siapa lagi kalau bukan anak-anak yang berlari memburu tanda tangan imam untuk tugas ramadhan?

Kini di hadapannya sudah tersuguhkan banyak buku tipis kecil bersampulkan warna hijau khas dengan desain masjid. Pria berpeci hitam itu mulai menggoreskan tinta dengan cepat membentuk sebuah tanda yang membuat mata anak-anak ini berbinar. "Mas, isi kultumnya apa?" Anak berusia tiga belas tahun itu bertanya.

"Ya, apa tadi? Dengerin gak?"

"Sekalian lah, Mas, isiin. Jangan setengah-setengah tanda tangan doang," rengeknya yang disusul juga oleh teman-temannya yang lain.

"Ya, kan tujuannya kalian ngerangkum kultum itu biar tau, nambah ilmu. Ini malah minta imamnya, berarti gak dengerin, ya," ujar Ali pada mereka semua. Anak-anak itu pun tak mampu menjawab dan hanya membalasnya dengan cengengesan.

Pada akhirnya, Ali pun terpaksa membocorkan isi kultum yang tadi ia sampaikan, "Besok-besok kalau ada kultum itu didengerin, jangan tanya imamnya."

"Siap, Mas," jawab mereka serentak.

"Udah sana gek ngaji!" Anak-anak itu langsung berlari menuju rak seolah berebut Al-Qur'an untuk mengaji.

Ali beranjak dari tempatnya duduk dan keluar. Namun, langkahnya terhenti karena, "Mas, ini ada snack sisa pengajian tadi sore. Di bawa, ya, Mas!"

Pria yang tampak lebih muda darinya memberikan dua buah box snack. "Makasih banyak lho."

"Iya, ati-ati jalan pulang, Mas." Ia membalasnya dengan acungan jempol.

Di luar masjid ternyata ia tidak langsung melangkah pulang, melainkan berjongkok sejenak, "Ngopo ndhodhok neng kene?" Farhan pun ikut berjongkok di sampingnya.

(Ngapain jongkok di sini?)

"Lagi ngombe dadak takon." Farhan menganggukkan kepalanya polos.

(Lagi minum pake nanya)

"Ra ndarus po?"

(Gak tadarus po?)

Farhan menggeleng, "Ngko wae ning omah, wes ono risma ne." Kini berganti Ali yang menganggukkan kepala.

(Nanti aja di rumah, udah ada rismanya)

Mereka mulai melangkahkan kaki bersama menuju rumah masing-masing. Baru saja berjalan dengan tenang menikmati sejuknya malam kelima belas ramadhan, tiba-tiba, "MAS FARHAN...!"

Seorang pria yang terlihat lima tahun lebih muda dari Farhan menghampirinya sambil berlari dengan laptop yang menyala dalam genggamannya. "Opo to? Mlayu-mlayu barang."

(Apa sih? Lari-lari segala.)

"Tadi mau minta tolong buat ngecek proposal tapi malah pada lupa," jawab anak muda tersebut dengan napas tersengal-sengal.

"Gak bilang tadi. Kowe bali sek wae rapopo, ngko nek ditunggoni."

(Kamu pulang dulu aja gakpapa ntar kalau dicariin)

Ali pun membalas, "Yowes, ndhisik aku."

(Yaudah, duluan aku)

Farhan pun menepi dan mulai fokus membaca kata demi kata yang tersusun dalam layar laptop itu meninggalkan Ali yang mulai melangkah pulang ke rumah. Ali menatap ke jalanan lurus yang entah kenapa tiba-tiba membuat matanya buram. Ia mengedip-ngedipkan matanya seraya menggosoknya yang justru membuatnya semakin mengantuk.

Senja Tanpa DamaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang