Dengan wajah paniknya Farhan terus-terusan mencoba menghubungi Bayu yang entah sekarang dia ada dimana. "Ah, ni anak dimana to?" kesalnya sambil mengusap kasar wajahnya.
Tak menyerah, Farhan juga berulang kali mengirim spam, tapi hasilnya tetap nihil. Tak ada jawaban sama sekali dari adik iparnya.
Farhan pun duduk sambil mencengkeram kepalanya sendiri. Tak berselang lama, terdengar suara langkah orang berlari, "Mas Farhan!" panggil orang tersebut.
Ternyata dia adalah Ayu, "Gimana-gimana? Tari gimana? Udah lahirannya?" tanya Ayu bertubi-tubi.
"Masih di dalem. Masih pembukaan, belum lahiran. Tapi kayak e bentar lagi," jawab Farhan yang sebenarnya juga bingung harus menjawab apa.
"Eh bentar, tapi kok kesininya sama kamu?" tanya Ayu yang tiba-tiba merasakan ada hal janggal.
"Nah itu, Bayu tu tadi gak ada di rumah. Terus ku telpon juga gak ada yang diangkat, di spam gak dibaca." Ayu yang mendengarnya pun kaget tak menduga hal ini akan terjadi.
"Kamu bisa telpon Bayu gak?" Ayu mengangguk. Namun, yang ia dapatkan sama saja dengan Farhan, "Gak diangkat, Mas." Mereka sama-sama menghembuskan napas kasar karena frustasi dengan tingkah Bayu. Tidak menyerah Ayu kembali mencoba menghubungi adiknya.
Tiba-tiba dokter keluar dan menghampiri mereka berdua, "Permisi, apa disini ada wali dari Ibu Tari?" Farhan dan Ayu mengangguk.
"Bapak suaminya?" tanya dokter pada Farhan. Farhan yang mendapat pertanyaan tersebut kaget, "Bukan saya, Dok. Saya iparnya."
"Oh... . Kalau begitu, apa ada yang bersedia menemani Bu Tari bersalin?"
"Saya aja, Dok," ucap Ayu menawarkan diri.
"Baik, Bu. Kalau begitu bisa ikut saya."
"Gak papa, Yu?" tanya Farhan pada istrinya.
"Lagian kasian Tari gak ada yang nemenin. Aku titip tas, ya, Mas. Eh, ini Bayu berdering, Mas."
Ayu pun langsung bergegas menyusul dokter masuk ruangan. Di dalam sana, Ayu sungguh tak tega melihat keadaan Tari yang sudah penuh keringat dan tampak sangat kelelahan.
"Mbak...!" panggil Tari lemas.
"Kenapa, hm?" tanya Ayu lembut sembari mengusap-usap kepala adik iparnya. Tari menggeleng dengan mata yang sudah berkaca-kaca dan air matanya langsung jatuh seketika.
"Shhtt, gak boleh gitu. Kamu pasti bisa. Tenang, kamu tenang, ya. Ikutin aja dokternya. Aku yakin kamu pasti bisa. Bismillah bisa, ya. Semangat! Demi bayimu, ya," Tari hanya sanggup mengangguk seraya menggenggam erat tangan kakak iparnya.
"Baik, Bu Tari. Sudah siap?" Tari mengangguk.
Di sisi lain, "Kowe ki neng endi je? Iki bojomu arep bayen ora arep tok parani po? Marai wong was-was wae lho kowe. Ngopo ora tok angkat telpon ku mau, hah?" cerocos Farhan dengan nada yang cukup tinggi.
(Kamu tu dimana sih? Ini istrimu mau lahiran gak mau kamu datengin kah? Bikin orang was-was aja lho kamu. Kenapa gak kamu angkat telpon ku tadi, hah?)
"Yo, sepurane, Mas. Mau lagi neng dalan. Iki lagi mandeg tuku bensin. Yowes, aku neng omah sakit saiki," Bayu langsung mematikan ponselnya dan melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.
(Ya, maaf, Mas. Tadi lagi di jalan. Ini lagi berhenti beli bensin. Yaudah, aku ke rumah sakit sekarang.)
Sedangkan di dalam, Tari masih berjuang demi melahirkan bayinya. Tiap tetes keringat dan air matanya sungguh tak ternilai harganya.
Usai sudah perjuangannya tatkala suara tangisan dari bayi mungil yang baru lahir menggema di ruangan tersebut. "Alhamdulillah," ucap Ayu dan Farhan detik itu juga walau tidak bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Tanpa Damai
RandomDi usia yang masih sangat muda Ayu harus menerima fakta bahwa dirinya harus menjadi orang tua pengganti bagi keponakannya, Maya. Mau tidak mau dirinya juga harus menjadi tulang punggung keluarga disaat ayahnya juga ikut menjadi korban "kecelakaan"...