****ABRI POV****
***Flashback......
Aku, kak Waldi dan kak Ken berjalan menuruni gunung melawan badai yang ekstrim ini.
"kamu baik-baik saja dek?", tanya kak Waldi di depanku.
"iya kak", jawabku.
"kalau ada apa-apa bilang ya", katanya.
Sejujurnya aku sekarang sudah sangat kedinginan, jari tanganku rasanya sulit untuk ku gerakkan, kepalaku juga sudah sangat pusing, nafasku juga sangat berat. Tapi....
Aku takut bilang, aku tidak mau membuat kak Waldi khawatir.
Brak!
Kaki ku menginjak batu yang membuatku tergelincir dan jatuh.
"aduh.... Aduh sakit....", keluhku.
Akupun mencoba untuk bangkit, tapi...
"huh?!", mataku terbelalak saat melihat tidak ada rombongan lagi di depanku.
"ba bagaimana..... Bagaimana ini?!!!!", aku sangat panik sekarang.
Aku pun berlari menuruni jalan setapak, namun karena tidak membawa senter, aku malah tergelincir dan terjatuh.
"akh!".
Aku sadar sekarang aku sudah tergeletak di tanah, tapi rasa dingin yang aku rasakan sekarang semakin menjadi-jadi dan membuatku kesulitan untuk menggerakkan tubuhku.
"ka...kak..... Wal...."
Pandanganku pun gelap.
.
.
Hmm....
Aku merasakan kehangatan menyelimuti tubuhku....
Rasanya sangat nyaman.
Deg...
Deg......
Deg...
Deg....
Suara ini...
Sangat merdu dan menenangkan.
Aku suka....
Detak jantung ini.
*****
Beberapa saat yang lalu.....
****FAHMI POV****
"ABRI!!!!!!!!!!!!", aku pun panik saat tahu orang yang tergeletak ini adalah Abri.
"Abri!!!!! Ba Bangun Abri!!!!!!!!!, TOLONG!!!!!! TOLONG!!!!!!!", air mataku pun keluar, tenggorokanku mulai sakit saat aku berteriak meminta tolong.
Namun....
Akupun terdiam.
"tidak....", ucapku, "jangan... ja jangan panik Fahmi", aku terus mengingatkan diriku.
Dengan tangan gemetar aku memeriksa nadi di lehernya, "ada!", ucapku saat menemukan denyutan namun sangat lambat.
Aku sontak menaikkan tubuh Abri di punggungku, aku pun menggendongnya sembari mencari tempat yang tepat untuk mendirikan tenda.
Tak lama berjalan, aku menemukan satu wilayah yang lumayan terbuka tanpa pepohonan.
Aku lalu melepas mantelku dan memakaikannya pada Abri, berharap ia bisa sedikit lagi bertahan dengan dua lapis mantel di tubuhnya.
Dengan air mata yang terus mengalir, aku berjuang menahan dinginnya air hujan yang menusuk menembus kulitku untuk membangun tenda.
"hiks... Ku Kumohon...", aku berbalik ke arah Abri yang ku sandarkan di bawah pohon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Walau Sejenak
RomansaBagaimana jika Sejenak, Selir Hati, Plupiophile, dan cerita lain karya author yang pernah publish bergabung kedalam satu alur?