Aku benar-benar menemani Abri di rumahnya...
Bersama dengan Rajab dan Wandi, kami bertiga menemani Abri yang tengah demam.
"mi, makan dulu", Rajab membangunkanku yang sedang tidur di sebelah Abri.
"mmm?, su sudah jam berapa?", akupun bangun sambil mengusap mataku.
"masih jam setengah 7 mi, ayo makan dulu, tadi Wandi habis keluar cari sarapan, Abri bagaimana?", tanya Rajab.
Aku lalu melihat Abri yang masih tertidur, kemudian aku meletakkan tanganku di dahi dan pipinya.
"sudah mendingan jab"
"bagus deh...., nanti kalau sudah bangun langsung suruh makan, tadi Wandi bawa obat demam juga dari rumahnya"
"iya jab"
Aku dan Rajab lalu turun ke ruang tamu, disana terlihat Wandi tengah menikmati nasi bungkus.
"halo tuti", sapa Wandi.
"tuti?", itu mengingatkanku pada Abri yang pernah memanggilku dengan ungkapan yang sama.
"kok senyum mi?", tanya Rajab.
"ekhem!, bu bukan apa-apa"
"pake nanya, kan habis berduaan sama orang yang di sayang", ledek Wandi.
"diam wan...., lagipula..., dia menolakku"
"HAH?!", Wandi dan Rajab sangat terkejut mendengarnya.
"serius mi?!, kau mengungkapkannya?", tanya Wandi penasaran.
Aku mengangguk.
"te terus..., Abri marah?", tanya Rajab juga.
"tidak kok, malah dia sudah memaafkanku, tapi ya tadi itu....", aku tertunduk.....
"dia menolakku"
Rajab seketika menepuk pundakku, "sabar ya mi...."
"sudahlah, bersedih tidak ada gunanya, mari makan", ajak Wandi.
Aku dan Rajab lalu ikut bergabung dengan Wandi di meja untuk sarapan.
Setelah sarapan, Rajab dan Wandi pamit pulang, meninggalkanku berdua dengan Abri di rumahnya.
Aku lanjut menemani Abri di kamarnya, ia masih belum bangun, tapi demamnya sudah sedikit membaik.
Namun...., saat aku hendak menyentuh dahinya untuk memeriksa panasnya, matanya tiba-tiba terbuka.
"bri?, hehe selamat pagi", sapaku.
Ia kemudian melirikku...
"jadi...., yang semalam itu bukan mimpi?", apa?
"mi mimpi?", nampaknya Abri mengira kejadian yang semalam hanyalah mimpi.
"hehe bukan bri"
"kau... Belum pulang?"
"aku akan disini sampai kau sembuh", ujarku.
"aku sudah sembuh...., kau sudah boleh pergi"
"bawel...., kau masih sakit", aku lalu mengambil sepiring nasi di atas meja belajarnya, "kau harus makan, lalu minum obat"
"aku bisa sendiri mi", ucapnya lemas.
"yakin?, badanmu saja masih gemetar...., wajahmu juga masih agak pucat"
Tanpa berbicara, Abri langsung mengambil segelas air yang aku pegang dan meminumnnya.
"ya sudah...., kalau begitu makan yang banyak ya", kataku sembari memberikan piring itu padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Walau Sejenak
Любовные романыBagaimana jika Sejenak, Selir Hati, Plupiophile, dan cerita lain karya author yang pernah publish bergabung kedalam satu alur?