Aiden selalu punya skenario dalam hidupnya. Tidak selalu menyenangkan, namun menurutnya yang terbaik. Membayangkannya sebelum kembali tertidur, hingga berharap skenario tersebut terjadi di dalam mimpi.
Bunda dan ayah yang menyayanginya. Rafka, sang kakak, yang peduli padanya. Apa yang selama ini ada di skenario Aiden, nyatanya bukan sesuatu yang mudah untuk diraihnya.
Tepat di bulan April lima tahun yang lalu, keluarganya hancur begitu saja.
Sekiranya perebutan hak asuh akan membuat Aiden tahu masih ada yang menginginkannya, tapi ternyata ia salah besar. Seseorang yang diharapkan bukan dirinya, melainkan sang kakak. Ayah dan bunda hanya memperebutkan Rafka, hingga laki-laki itu memilih untuk ikut dengan ayah dan bunda mendapatkan sisanya.
Aiden kira, sejak saat itu bunda akan memperhatikannya. Ia adalah anak satu-satunya yang bunda miliki. Hanya saja, bayang-bayang Rafka masih menghantui, membuat Aiden terus berada di baliknya.
Hingga akhirnya Aiden menyadari, ia tidak akan pernah terlihat. Mau seberapa besar usahanya, semuanya percuma.
•••
Bulan Januari selalu lebih dingin dibanding bulan yang lain. Hingga akhirnya membuat Aiden terus berbaring di bawah selimut, meski waktu sudah menunjukkan pukul enam tepat. Rasanya, ia tidak ingin beranjak.
Ponsel yang sedari tadi bergetar di atas nakas kemudian diraihnya. Kedua mata yang masih terasa berat menatap layar, membaca nama yang tertera. Sesekali, Aiden menguap. Masih terasa cukup mengantuk setelah semalaman begadang.
Lalu, begitu menyadari siapa yang menelepon, senyum Aiden mengembang. Kedua kelopak matanya terbuka lebar. Ia bangkit dan memilih opsi jawab.
"Halo, Kak!" Sapaan yang begitu riang terdengar begitu saja. "Tumben pagi-pagi udah nelepon. Kangen, ya?"
"Bukan." Suara dehaman terdengar. Aiden yakin, Rafka akan mengumpat dalam hati. "Bunda nyuruh gue ngingetin buat bangunin lo. Lo sekolah, 'kan, hari ini?"
Aiden lantas berdecih pelan. Ia melirik jam dinding yang berada tepat di hadapannya. Pukul enam lewat dan rasanya tidak mungkin ia bisa sampai sekolah sebelum pukul 06.30. Bisa-bisa, guru yang berjaga di gerbang akan memulangkannya karena terlambat.
"Nggak. Gue masih nggak enak badan," jawab Aiden pada akhirnya. Ia kembali berbaring, hendak menaikkan selimut. "Lagian juga, suruh bunda ngomong ke gue sendiri. Kenapa harus selalu lewat lo, sih? Karena gue belum bangun? Bisa bangunin gue, 'kan? Anti banget sama gue, kayaknya."
"Bukan gitu maksudnya, Den. Lo, 'kan, tahu sendiri kalau bunda juga sibuk. Pasti bunda juga mau ngobrol sama lo, kok. Cuma masalah waktu aja."
Aiden tertawa pelan. Pada akhirnya, keinginannya untuk kembali tidur musnah begitu saja. Ia memilih bangkit, menatap jendela yang berembun.
"Masa?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja. Kekecewaan selalu menguasai perasaan. Entah sudah berapa tahun Aiden memendamnya. Bahkan, Rafka sendiri mungkin tidak akan pernah bisa mengetahuinya. "Ya, mungkin bunda emang mau ngobrol sama gue."
"Ya, emang. Mau gimana juga, bunda juga orang tua lo. Pasti dia sayang sama lo."
"Gara-gara omongan lo gue jadi nggak ngantuk lagi."
Suara tawa terdengar dari seberang sana. "Ya, lo emang harus sekolah. Katanya, tiga hari kemarin lo izin sakit. Udah periksa?"
"Ah, udah." Aiden perlahan mengusap kepala. Sejenak kembali melirik jam dinding. Kemungkinan untuk dipulangkan semakin besar. "Nggak ada apa-apa, kok. Cuma kecapekan sedikit. Tapi, yah, mungkin hari ini masih agak lemas. Nggak apa-apa, aman."
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?