bagian 43

5.1K 635 50
                                    

Rafka kira, detak jantungnya akan kembali normal malam ini. Nyatanya, ketika tiba-tiba ponsel yang tergeletak di atas kasur berdering, napas Rafka lagi-lagi tertahan. Tubuhnya membeku, tidak dapat bergerak sama sekali.

Panggilan berasal dari nomor yang tidak Rafka kenal. Katanya, ia mendapatkan nomor Rafka dari dompet laki-laki bernama lengkap Aiden Khailan Nadhirrizky sebagai kontak darurat. Lalu, kabar buruk itu terdengar begitu saja sebelum Rafka dapat memproses segalanya.

Tubuh Rafka bergerak di luar kendali. Meraih jaket yang tergeletak di atas kursi meja belajar. Tanpa peduli dengan hujan deras yang masih mengguyur, Rafka berlari begitu saja.

Hingga dirinya kini berdiri di hadapan Aiden yang tampak terpejam. Begitu tenang seperti sedang bermimpi indah. Untuk sejenak meninggalkan hiruk-pikuk dunia yang membuat sesak.

Rafka tidak peduli pada bajunya yang sedikit basah. Kini, yang ada di pikirannya hanya Aiden. Laki-laki itu mungkin dalam kondisi yang sudah distabilkan, namun Rafka juga dipaksa untuk mempersiapkan diri jika hal terburuk justru yang menjadi akhir.

"Maaf," gumam Rafka. Nada suaranya penuh dengan penyesalan. Terakhir kali, ia malah berkata bahwa dirinya tidak akan peduli lagi dengan pilihan Aiden.

Pada kenyataannya, ketika menyadari bahwa kontak darurat yang ditulis oleh Aiden adalah nomornya ... Rafka sadar bahwa keduanya masih saling membutuhkan.

"Omongan gue terakhir kali ... terlalu nyakitin lo, ya, Den?" Rafka melanjutkan. Meraih jemari Aiden. Berusaha tidak menyakiti sedikit pun. Meski sudah dibebat dengan kuat, namun Rafka tetap merasa takut.

"Maaf karena gue malah nggak ngacuhin lo sama sekali belakangan ini. Padahal ... seharusnya ... gue tahu kalau kondisi lo nggak stabil." Rafka menarik napas panjang sejenak. Memperhatikan wajah Aiden yang terdapat luka. Lebam tampak di sudut mata kanannya karena helm yang terlepas dari kepala.

"Gue marah. Tapi ... seharusnya gue tahu. Lo ngomong gitu karena lo udah capek berjuang buat kesia-siaan, 'kan? Gue seharusnya bantu lo buat tetap optimis." Rafka menggigit bibir bawahnya sejenak. "Gue capek, tapi di satu sisi ada lo yang lebih capek. Harus hidup tanpa kasih sayang orang tua, ditambah badan yang makin hari makin sekarat. Seharusnya ... gue pakai waktu gue buat bikin memori sama lo. Bukannya malah marah kayak kemarin."

"Den," panggil Rafka sekali lagi. "Kasih gue kesempatan sekali aja. Gue nggak mau hidup bareng sama penyesalan. Gue udah ingkar janji, padahal gue pernah bilang kalau gue nggak akan ninggalin lo. Tapi ... gue mohon, sekali ini aja."

Kedua tangan Rafka mengusap wajah yang tampak lelah. Kedua kelopak matanya begitu sembap. Dalam hati menantikan mata Aiden kembali terbuka dan adiknya itu tersenyum padanya.

Lalu, hal yang tidak pernah Rafka sangka, sosok Ana muncul di sebelahnya. Beberapa menit tepat setelah Rafka mengirimkan pesan singkat. Tampak tidak bersiap sama sekali dan hanya mengenakan jaket sebagai pelapis bajunya. Rambut yang diikat berantakan mengindikasikan kondisi Ana yang serba tanpa persiapan.

Kedua kelopak mata Rafka melebar, tidak sanggup berkata apa-apa lagi.

Ini mungkin mimpi yang Aiden inginkan.

Sosok Ana muncul dengan sorot penuh kekhawatiran.

"Bun-da?" Rafka berucap lirih. Suaranya terdengar begitu serak. "Bunda ... datang?"

Ana menoleh. Meski masih tanpa ekspresi yang bermakna, namun sinar di kedua matanya tampak begitu lembut. Tanda tanya terlukis jelas di bola mata Ana yang tampak jernih.

"Ada apa ... ini?" Ana balas bertanya. Tidak menyangka bahwa kondisi Aiden tampak lebih buruk dari apa yang ada di pikiran Ana.

Sekiranya Ana akan mendapati Aiden dalam kondisi sadar, nyatanya kini putranya tersebut sedang terlelap dengan nyenyaknya. Raut wajah yang biasanya tampak sedang menanggung beban berat, kini terlihat sangat menenangkan. Tidak ada senyum di bibirnya yang pucat dan terdapat bercak luka di sudutnya, namun Ana seolah dapat melihat guratan senyum di sana.

Laki-laki itu ... pernah menjadi bayi kecilnya ... 'kan?

"Kenapa ... bisa?"

Rafka menunduk dalam. Tubuhnya terjatuh begitu saja. Pada akhirnya, ia terduduk di kursi. Membiarkan wajahnya tenggelam pada lipatan tangannya yang ada di atas brankar. Tidak sedikit pun Rafka menjawab pertanyaan Ana. Kondisi Aiden sudah menjelaskan segalanya.

"Kenapa Bunda tiba-tiba datang?" Rafka bertanya. Ia bangkit dari kursi. Menatap Ana lekat-lekat. Kedua manik matanya memancarkan harapan yang begitu besar. "Aku pikir Bunda nggak akan pernah peduli."

Den, bangun. Lihat, bunda ada di sini.

Ana tidak berkutik di posisinya. Hingga ketika kesadarannya kembali, Ana maju beberapa langkah. Mendekati Aiden dengan tangan yang sedikit dijulurkan. Jemari hangatnya menyentuh surai sang putra yang basah, lalu beralih pada pipinya yang dingin.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Ana benar-benar memperhatikan wajah Aiden.

"Ai-den ...."

Kapan terakhir kali Ana menyebut nama Aiden?

"Maaf ...."

•••

Berisik ....

Bunda, kepala aku berisik.

Bunda di mana?

Bunda, badan aku sakit semua.

Bunda ....

Tolong aku.

Seseorang menyentuh jemari Aiden. Membuatnya sedikit terusik. Suara yang awalnya terdengar begitu samar dan mengganggu, kini mulainterdengar lebih jelas. Perlahan, Aiden berusaha menyelamatkan diri dari kegelapan yang ada di sekitar.

Tangan dingin yang kemudian menyentuh wajah Aiden membuatnya meringis. Kembali mencoba untuk membuka mata. Begitu perlahan, hingga sinar lampu yang berada tepat di atasnya membuat Aiden kembali terpejam.

Berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar dan rasa sakit yang terasa di sekujur tubuh, Aiden menggerakkan jemari tangan kirinya. Meraih apapun yang ada di dekatnya, sampai pada akhirnya kedua netra Aiden mampu menangkap semua yang ada di sekelilingnya. Tubuh Aiden bergetar karena dingin, ditambah rasa sakit.

"Ka-kak ...." Aiden berucap lirih. Kerongkongannya terasa begitu kering. Luka di sudut bibir menghasilkan perih setiap kali Aiden mencoba untuk membuka mulutnya.

"Aiden."

Panggilan itu membuat kedua kelopak mata Aiden terbuka lebar. Tidak mampu sedikit pun ia menahan air mata yang mengalir dari sudutnya. Rasa sakit yang dirasakan perlahan memudar. Berganti dengan kehangatan yang menjalari perasaan. Membuat senyum Aiden terlukis setelahnya.

Jemari yang kembali berusaha digerakkan demi bisa meraih tangan Ana. Aiden tidak dapat berkata apa-apa lagi selain isakan. Rasa takut yang dirasakan menghilang sepenuhnya, berganti dengan harapan.

Tuhan, apa aku sudah mati?

Atau semuanya cuma mimpi?

Aiden berusaha menyadarkan diri. Tidak lagi memikirkan kenapa ia tidak bisa merasakan tangan kanannya selain karena rasa sakit. Usapan pada puncak kepala yang kemudian membuat Aiden sadar sepenuhnya.

Apa begini rasanya disayang sama bunda?

"Adek." Suara Rafka yang bergetar membuat Aiden tidak dapat lagi menahan perasaannya. "Terima kasih ... karena udah berusaha buat terus bertahan hidup."

Aiden tidak dapat membalas melainkan menggunakan anggukan kepala. Jemarinya menggenggam erat tangan Rafka. Perasaan tenang kemudian membuat dadanya tidak lagi sesak. Kehidupan mendadak tidak lagi terasa begitu menyeramkan.

Tuhan, terima kasih atas kesempatannya.

Untuk sekali ini ....

Aiden yakin dirinya akan mendapatkan kebahagiaan di akhir ceritanya.

•to be continued•

A/n

Aku tuh kepikiran ngasih akhir yang manis tau :( tapi kenapa pada alhamdulillah pas di chapter sebelumnya wkwkwkwkwk

180 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang