"Den? Lo baik-baik aja? Suara lo kedengeran lemas."
Aiden tertawa pelan. Ia merapikan posisi, menaikkan selimut hingga sebatas dada. Kedua tangan dan kakinya terasa begitu dingin, padahal Aiden tidak menyalakan pendingin ruangan.
"Gue baik. Ada apa, Vin? Tumben nelepon. Lagi nggak ada kegiatan? Bukannya lagi classmeeting, ya?"
"Kebetulan. Gue mau kasih kabar yang bisa bikin lo lebih baik lagi."
Tanpa sadar, Aiden menahan napas. Jantungnya berdegup lebih keras. Sebelum pada akhirnya, ia bertanya, "Paan, tuh?"
"Lo juara satu, Den! Lo beneran bisa menang!" Sebuah seruan menjadi jawaban. Membawa rasa bahagia yang kemudian menghangatkan perasaan Aiden. Senyum lebar yang kemudian terulas, binar menari di kedua manik indahnya. Tanpa Aiden sadari, kedua bola matanya mulai berkaca-kaca, hingga setetes cairan menggenangi sudutnya.
Apa ... itu semua bisa membuat bundanya bangga?
"Den, jangan diam aja, dong. Lo nggak mau balas apa gitu?"
"Vin ...." Suara Aiden kini terdengar bergetar. "Apa ... itu bisa cukup bikin bunda gue bangga?"
Tidak langsung ada jawaban. Orang yang ditanya justru diam membeku. Sementara yang bertanya berusaha untuk menahan gejolak emosi yang membuat perasaannya tercampur aduk.
"Apa ... gue udah cukup baik sebagai seorang anak?"
"Ya, Den. Lo udah baik banget sebagai seorang anak. Bunda lo seharusnya bersyukur karena udah punya anak kayak lo."
"Apa ... itu udah cukup bikin bunda gue bahagia?" Aiden melanjutkan. "Kalau bunda gue udah bahagia, berarti ... tugas gue udah selesai, 'kan?"
"Nggak segampang itu, Den." Balasan Devin tidak langsung terlontar begitu saja. Suara Aiden yang terdengar getir membuat lidahnya seolah kelu.
"He-he. Gue senang karena gue berhasil. Buat pertama kalinya di hidup gue." Aiden tertawa pelan. Tidak menyangka bahwa dirinya masih bisa hidup sampai saat ini. "Gue senang. Gue rasa hidup gue udah cukup sampai sini."
"Lo ngomong apa, sih? Lo bukan Tuhan yang bisa bicara begitu."
"Makasih, ya. Lo emang sahabat gue yang paling baik." Aiden berucap, mengalihkan pembicaraan. "Maaf, janji gue buat masakin lo ternyata nggak bisa gue tepatin. Gue nggak berani janji lagi. Gue takut, gue nggak bisa tepatin lagi."
"Kalau janji itu bisa bikin lo bertahan, seharusnya lo janji lagi," balas Devin. "Den, sumpah, ya. Lo jangan bicara aneh-aneh seolah lo bakal mati sebentar lagi."
"Siapa yang bakal mati? Gue bakal hidup selamanya." Aiden berdeham pelan. "Cuma ... ya, bukan di dunia ini. Mungkin."
"Dih, mulai ngaco. Hak bicara lo gue tarik," balas Devin.
Aiden tidak dapat menahan tawa sama sekali. Jemarinya yang seolah membeku kemudian menyisir surainya ke belakang. "Vin, dunia bakal kehilang gue, nggak, kalau gue nggak ada?"
"Semua bakal kehilangan lo."
"Termasuk teman-teman kita? Ah, gue belum minta maaf ke mereka. Gue udah jadi beban selama satu semester ini."
"Nggak usah pikirin mereka. Lo punya alasan. Tenang aja."
"Vin, gue takut." Aiden menggigit bibir bawah sejenak. "Kematian itu ... menakutkan banget, ya. Bahkan, berbulan-bulan gue nyiapin diri, tapi sampai saat ini gue belum siap juga."
"Kalau gitu, jangan mati dulu. Tunggu sampai lo siap."
"Sayangnya, kematian nggak nunggu lo siap atau nggak." Aiden berujar lirih. "Gue ngantuk banget. Kayaknya, gue harus istirahat sekarang."
"Ya, omongan lo juga ngaco banget."
"See you ... segera, Vin."
"Besok lo masuk, 'kan? Sekarang classmeeting pertama lo di SMA. Masa, nggak masuk sama sekali?"
"Iya. Kalau gue bisa, ya."
"Den, lo nggak mau janji apa-apa lagi?"
Aiden menghela napas panjang. Kepalanya menggeleng perlahan, meski tahu bahwa Devin tidak akan dapat melihatnya.
"Gue tidur dulu, ya."
"Ya, ya."
Tanpa memutuskan sambungan, Aiden menjauhkan ponsel dari telinganya begitu saja. Kedua matanya menatap langit-langit. Kosong, seolah tidak memiliki kehidupan. Helaan napasnya kemudian terbit. Disusul oleh senyuman yang terulas tipis. Jemarinya mengetikkan pesan di ruang obrolannya dengan sang bunda.
Bunda
Bun, aku berhasil.
Aku menang.
Semoga Bunda juga senang, ya.
Ngomong-ngomong, cepat pulang, ya, Bun.
Aku mau tidur dulu.
See you! :D
•••
"Makanan kesukaan, ya?" Rafka berpikir sejenak. Menatap Ana dalam-dalam. Senyum penuh artinya terbit kemudian. "Aiden suka semuanya, loh, Bun. Tapi, dia selalu bilang kalau dia suka masakannya sendiri."
Ana diam sejenak, menoleh ke arah Rafka yang fokus menyetir, kemudian beralih pada ponselnya yang bergetar beberapa kali.
"Menang?" Gumaman Ana terbit. Kedua kelopak matanya melebar. "Raf, Aiden menang."
"Menang?" Rarka mengernyit. "Olimpiadenya? Serius, Bun? Kita harus rayain. Beli kue? Beli es krim? Beli apa, ya, yang enak? Bunga?"
Ana tertawa pelan. "Itu semua kamu yang mau, 'kan?"
Rafka menunjukkan cengirannya. Ia tidak menyangka hubungannya dengan Ana akan jauh lebih baik dari sebelumnya. Bahkan, intensitas bertemu dengan sang bunda lebih sering daripada bertemu dengan sang ayah, yang jelas-jelas tinggal satu rumah.
"Boleh kalau Bunda mau berpikir kayak gitu." Rafka tertawa pelan.
"Ya, nggak apa-apa. Sekalian kita belanja, Bunda yang masak buat hari ini."
Entah Rafka harus bersyukur atau bagaimana, tapi ia senang dengan kehidupannya saat ini.
•••
Ana berdiri di depan pintu. Mengatur napas sedemikian rupa. Jemarinya perlahan menyentuh gagang pintu kamar, kemudian membukanya. Sebelum masuk, ia menyembulkan kepala. Menatap Aiden yang tampak tertidur nyenyak.
Senyum Ana terbit. Ia membuka pintu lebih lebar lagi. Masuk ke dalam dengan langkah lebar.
Kedua netra Ana memperhatikan wajah Aiden lekat-lekat. Tampak senyum terulas, meski bibirnya pucat. Ketika Ana meraih tangan Aiden, dingin langsung terasa. Ia mengernyit, melepas genggamannya, sebelum akhirnya tersadar.
Aiden tertidur dalam keabadian.
•end•
A/n
Aku ngetik ini pas lagi kerja wkwkwk mana tetiba pasien manggil, kan aku jadi harus ngusap mata terus :D
Fun fact, percakapan aiden dengan devin itu aku bikin semirip mungkin dengan percakapan terakhirku sama doi :)
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?