Aiden tiba di rumah tepat saat azan subuh berkumandang. Awalnya, ia berniat untuk pulang sendiri, namun Devin memaksa untuk mengantar. Suatu kebetulan, laki-laki itu sudah terbangun tepat di pukul tiga pagi, berniat mengerjakan pekerjaan rumah yang harus dikumpulkan hari ini.
Oleh karena itu, setelah meloncati pagar dan mengendap-endap masuk ke rumah, Aiden langsung berlari menuju kamar. Beruntung, kebiasaan Ana yang tidak pernah mengunci pintu setelah menggembok pagar masih ia lakukan. Setidaknya, Aiden tidak perlu menunggu hingga matahari terbit agar bisa masuk ke rumah.
Setelah menunaikan kewajibannya dan mengganti baju—tanpa mandi, tentu saja, karena suhu udara pagi ini yang dingin—Aiden segera beranjak menuju dapur. Mempersiapkan makanan untuk hari ini. Setidaknya, ada satu dua hal yang dapat ia kerjakan selama harus beristirahat di rumah.
Selain beristirahat dan hanya bergoler di kasur.
Masakan yang Aiden buat tidak terlalu rumit. Selain karena bahan masakan yang terbatas, rasa kantuk karena semalam hanya tidur selama satu jam, cukup membuat Aiden merasa malas. Hingga akhirnya, Aiden memutuskan untuk kembali tidur setelah Ana berangkat nanti.
Ketika aroma masakan menguar, senyum Aiden mengembang. Aiden bahkan tidak menyadari jika memasak makanan untuk orang yang ia sayangi ternyata menyenangkan, jika saja ia tidak dirawat di rumah sakit. Rasa puas ketika ada orang lain yang memakan masakannya menjadi salah satu tujuan.
Yah ... Aiden hanya berharap semoga Ana masih sudi untuk mengonsumsi makanan buatannya, sih.
Tidak butuh waktu lama, meja makan yang sudah berminggu-minggu kosong kembali terisi. Tentu setelah Aiden membersihkan permukaannya dari debu yang menempel. Setelah ini, mungkin Aiden akan mendeklarasikan memasak sebagai salah satu hobi terpendamnya, meski memang tidak terlalu mewah.
Lalu, ketika ekor mata Aiden menangkap sosok yang berdiri di area penghubung ke ruang makan, senyumnya terulas lebar. Rasa lelahnya mendadak hilang. Iris cokelatnya yang berbinar tampak lebih cerah.
"Bunda! Selamat pagi!" sapa Aiden hangat. "Aku udah siapin sarapan buat Bunda. Sekalian buat bekal ke kantor, ya."
Tidak ada jawaban. Ana berjalan menuju dapur, mengambil gelas dan menuangkan air ke dalamnya. Sekali melirik Aiden, namun kemudian mendengkus dan melewatinya begitu saja.
"Aku cuma nyiapin, kok. Nggak ngajak makan bareng." Aiden menggaruk area belakang lehernya sesaat. "Siapa tahu, Bunda nggak mau makan sama aku. Jadi, aku makan di kamar aja. Jangan lupa dihabiskan—"
"Saya nggak ada waktu buat sarapan," potong Ana, sebelum Aiden sempat menyelesaikan kalimatnya.
"Oh, kalau nggak ada waktu, aku siapin buat dibawa aja, ya. Jadi, nanti pas Bunda sampai kantor, bisa sarapan." Aiden beralih menuju lemari piring, mengambil kotak bekal dari dalam sana. "Sebentar, ya, Bun. Pokoknya, Bunda harus bawa bekal hari ini."
Ana diam, tidak ada balasan lagi. Ia kemudian beralih, membiarkan Aiden pada aktivitasnya. Tidak sedikit pun menatap putranya tersebut. Namun, masih sempat mendengar suaranya yang nyaring di pagi yang tenang.
"Pokoknya, kalau mau berangkat, jangan lupa dibawa makanannya, ya. Besok juga sama. Setiap hari, aku bakal pastiin Bunda nggak akan kelaparan sama sekali."
Lalu, helaan napas berat Ana terbit. Ia mengusap wajah dengan kedua tangan. Kedua kakinya melangkah memasuki kamar, tidak peduli lagi dengan apa yang Aiden katakan.
•••
Aiden mendudukkan tubuhnya di kasur, menatap ke arah luar jendela yang tidak ditutupi gorden. Suara deru mobil terdengar menjauh, hingga akhirnya menghilang.
Setelah memastikan bahwa bekalnya dibawa oleh Ana, Aiden langsung berlari ke kamar. Usahanya mungkin sia-sia, karena tidak ada tanggapan sama sekali dari sang bunda. Namun, tidak banyak hal yang ia bisa lakukan. Setidaknya, kebiasaan sederhana, hingga pada akhirnya Aiden tidak dapat melakukannya lagi.
Kalau bisa, sih, Ana luluh padanya.
Namun, bukan hal tersebut bukan sesuatu yang mudah untuk dicapai. Meski begitu, Aiden percaya, hasil nantinya tidak akan mengkhianati usaha sama sekali. Jadi, walau mustahil, setidaknya Aiden sudah berusaha.
Dengan tangan yang direntangkan, Aiden menjatuhkan dirinya ke kasur. Menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong, sebelum jemarinya meraih ponsel yang tergeletak di sisi. Beberapa pesan masuk, seluruhnya dari grup kelas yang berisi umpatan mengenai ulangan harian Fisika yang akan dilaksanakan besok.
Aiden terkekeh geli. Melihat interaksi yang tetap aktif meski sedang jam pelajaran. Rasanya, ia rindu berangkat ke sekolah. Rindu merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang siswa yang banyak mengeluh. Ada banyak hal yang ingin Aiden lakukan, hanya saja mengingat kondisi tubuh yang rasanya semakin hari semakin parah, semuanya seperti terbatasi begitu saja.
Lalu, suara pintu yang dicakar terdengar. Aiden lantas bangkit, dengan cepat membuka pintu. Senyum lebar terukir di bibir tepat ketika ia melihat sosok mungil yang berdiri di baliknya, sedang merenggangkan tubuh.
"Kucing!" Aiden berseru. "Long time no see! Apa kabar? Sini sama aku!"
Tangan kanan Aiden mengusap kepala kucing tersebut. "Kangen banget pasti, ya. Lama kita nggak ketemu. Makin kurus aja. Maaf, ya, aku nggak bisa ngasih makan dari kemarin."
Kucing mungil tersebut mengeong, seolah membalas ucapan Aiden.
"Aku dari kemarin di rumah sakit, Kucing. Sedih banget, ya, nggak bisa main bareng. Padahal, biasanya kita tidur bareng." Aiden terkekeh geli sesaat. "Sepi banget di sana. Aku jadi tidur sendirian berminggu-minggu. Mana kasurnya nggak empuk, nggak ada guling pula. Makanannya rasa bawang putih. Meh banget, deh, pokoknya."
Aiden tahu, ucapannya mungkin tidak akan dijawab sama sekali. Namun, setidaknya, masih ada yang mendengarkan. Dan yang mendengarkan adalah makhluk hidup.
"Kucing, doain aku cepat sembuh, ya. Doain juga bunda aku berubah baik ke aku. Soalnya ...." Aiden menggigit bibir bawahnya dengan lembut. Memejamkan mata sesaat, sebelum menarik sudut bibirnya ke atas, menunjukkan lengkungan indah yang penuh dengan ketulusan. "Aku nggak pengin mati sendiri, deh. Bisa nggak, ya, kamu yang temenin aja. Jadi, aku mati di rumah gitu, nggak mati di rumah sakit."
Aiden mengangkat kucing itu, meletakkannya ke atas kasur. Ia kemudian berbaring di sebelahnya.
"Kasian banget aku. Ngobrolnya cuma sama kucing." Aiden mengubah posisi hingga dapat menatap langit-langit. "Tapi, Kucing, nanti kalau aku nggak ada, kamu sedih, nggak? Sedih lah, ya. 'Kan, biasanya aku yang ngajak main. Kalau nggak ada aku, nanti, kamu main sama siapa? Cari teman, ya. Biar kamu nggak sendirian lagi."
Aiden mengusap sudut matanya yang terasa gatal. Kelopaknya mulai memberat. Sesekali tertutup, meski hanya sesaat.
"Sendirian itu nggak enak banget, ya. Untung ada kamu." Aiden tertawa pelan, meraih guling dan memeluknya. "Jangan mati duluan, ya, Kucing. Biar aku nggak sendirian."
Suara yang tidak lagi terdengar. Helaan napas yang begitu lembut dan teratur. Serta kelopak mata yang akhirnya tidak terbuka lagi. Aiden masuk ke dunia mimpinya. Tampak tenang dan tanpa beban.
Seolah, jika pada akhirnya Aiden tidak lagi terbangun, ia dapat menerimanya dengan senang hati.
•to be continued•
A/n
Mengantuk, tapi gak bisa tidur 😔
Bentar, agak sedih pas mikirin buat ending ....
Hahahahahaha—huhu
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?