"Rafka datang membawa es krim!"
Suara pintu yang dibanting lantas membuat Aiden terlonjak. Kepalanya pusing karena soal di hadapannya, ditambah dengan suara Rafka. Untung saja, kakaknya itu membawa es krim.
"Kali ini, gue beneran nepatin janji." Rafka nyengir. Meletakkan kotak es krim yang dibawanya ke atas meja. "Gue datang!"
Aiden mendengkus. "Gue menyesal karena udah nyuruh lo datang ke sini," ujarnya. Nada suaranya terdengar sinis. Walau harus Aiden akui, ada sedikit kehangatan di hatinya. Untuk kali ini, ia senang karena Rafka benar-benar menepati janjinya.
"Lo latihan mulu. Lombanya kapan, sih?" Rafka beralih pada tempat tidur, lalu menjatuhkan tubuhnya ke sana. Tangan dan kakinya menggosok permukaan kasur yang dingin. "Istirahat, Den. Muka lo udah pucat gitu."
"Lombanya akhir Mei besok. Tanggal 28," jawab Aiden. "Masih ada tiga bulan, tapi gue nggak mau sampai kalah. Gue udah janji ke bunda kalau gue bakal menang."
"Lo udah janji, tapi lo juga harus ingat diri lo sendiri, Den." Rafka berucap setelah meniupkan karbon dioksida keluar dari paru-parunya. Tangannya terangkat, menutupi cahaya lampu dari netra legamnya. "Kalau sampai lo nggak peduli sama diri apalagi sama pengobatan lo, gue bakal bilang ke guru lo buat batalin lomba itu. Nggak usah pakai acara lomba-lombaan. Nggak ada yang peduli sama piala kalau juaranya mati, Den."
Aiden memutar kursinya. Ia menatap Rafka yang masih asyik berbaring di kasur, menatap langit-langit. Ucapan Rafka benar, namun Aiden tidak bisa setuju.
"Gue nggak akan mati," cetus Aiden. "Lo nggak pengertian sama sekali sama gue, Kak. Sekali-kali, dukung gue gitu."
"Loh, ya, itu gue dukung lo dengan bawain es krim." Rafka bangkit. Ia meraih kotak es krim yang ada di atas meja. "Sini Abang suapin."
Aiden merinding setengah mati.
"Jadi, kemarin bunda bawain lo makanan?" Rafka mengalihkan pembicaraan. Ia membuka kotak es krim, menyendok sedikit bagian di rasa vanila, sebelum mendekatkannya ke mulut Aiden.
Aiden hendak mengenyahkan tangan Rafka, namun es krim ternyata lebih menggoda. Jadi, ia merebut sendok tersebut, sebelum memasukkannya ke dalam mulu. Tentu, dengan tangannya sendiri.
"Lo ... takut, nggak, kalau bunda cuma kasihan ke lo?" Rafka melanjutkan. Agak takut ketika harus bertanya.
"Gue nggak suka dikasihanin, sih, Kak. Tapi, kalau yang kasihan bunda, gue nggak masalah," jawab Aiden. Ia menggigit sendok. "Kalau bunda kasihan sama gue, berarti bunda masih ada rasa peduli sama gue. Sedikit, sih, tapi nggak masalah. Lebih baik daripada nggak dianggap sama sekali."
Rafka merasa miris sendiri ketika mendengar jawaban Aiden. Kasih sayang orang tua yang seharusnya didapatkan secara cuma-cuma, tapi tidak untuk adiknya itu.
"Gue dukung lo buat jadi orang jahat," cetus Rafka. "Lo terlalu baik, Den. Nggak semua orang tua pantas jadi orang tua. Apalagi, selama bertahun-tahun lo dapat perlakuan buruk."
Aiden hanya tersenyum tipis dan mengangguk.
"Hidup lo cuma sekali. Lo harus bahagia!"
"Kak, kenapa jadi lo yang ngebet, sih?" Aiden tertawa pelan. Ia meletakkan pensilnya di atas meja dan beralih duduk ke sebelah Rafka. Tangannya menepuk pundak laki-laki tersebut. "Puk, puk. Tahu, kok. Maksud lo baik. Gue juga sedih diperlakuin gitu, tapi gue juga bahagia, kok, sama hidup gue. Istilahnya apa, ya? Gue udah terima semuanya."
"Jadi, lo udah nggak berharap lagi?"
"Masih, lah!" seru Aiden. "Berharap jadi salah satu cara gue buat bertahan hidup. Kalau gue nggak punya harapan lagi, ya, hidup gue selesai."
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?