Aiden pernah ada di masa ia dapat menikmati hidup seperti remaja pada umumnya. Bermain sepulang sekolah, mencari pengalaman sebanyak mungkin, hingga terkena omelan guru karena kenakalannya. Saking seringnya, hingga Rafka—yang berpura-pura menjadi orang tua Aiden ketika guru menelepon—merasa bosan dan kesal sendiri.
Lalu, seolah hanya sekejap mata, semuanya berubah begitu saja. Hanya satu semester Aiden menjalani masa SMA-nya seperti remaja lain. Selebihnya, ia harus berkutat dengan rasa takut.
Harusnya, Aiden masih dapat bersenang-senang, 'kan?
Seharusnya, kisah hidup Aiden seperti remaja yang lainnya, 'kan?
Iya ... 'kan?
Namun, sayangnya, saat ini Aiden berada di depan gerbang sekolah, menunggu kedatangan Rafka. Hari ini merupakan jadwal kemoterapi kedua dan beruntungnya, kondisi yang stabil membuat Aiden tidak perlu kembali merasakan kengerian instalasi gawat darurat. Hanya tinggal datang, pemberian obat, observasi, dan pulang. Waktu yang dibutuhkan tidak akan selama ketika Aiden harus dirawat inap.
"Coy, ikut ke studio nggak?"
Satu suara lantas membuat Aiden menoleh. Sedikit heran, sebelum menyunggingkan seulas senyum. Kepalanya yang menggeleng perlahan dengan kedua tangan saling menggenggam di depan tubuh menjadi jawaban.
"Nggak bisa, gue ada urusan," ucap Aiden kemudian. Meski rasanya ia ingin bolos treatment saja hari ini dan pergi bermain dengan teman-temannya. Mungkin, sesekali tidak masalah. Karena sejujurnya, Aiden tidak ingin merasakan siksaan yang sama seperti saat yang lalu.
"Serius, nih? Lo nggak pernah ikut main lagi, lama-lama posisi lo diganti."
Aiden lagi-lagi menggeleng. Kalau ia kabur, bisa-bisa Rafka akan mengomel selama berbulan-bulan. Hal paling parah yang mungkin terjadi, ya, penyakitnya malah makin menjadi-jadi.
"Iya. Gue nggak bisa ikut sama sekali," balas Aiden. Agak merasa berat karena tidak bisa ikut bersenang-senang. "Setelah lomba, deh. Atau setelah urusan gue selesai semua. Jangan gantiin gue dulu."
Suara sorakan kemudian terdengar, menarik perhatian murid-murid yang berjalan ke luar gerbang. Sementara yang bersangkutan tidak lagi berbicara. Tidak juga senyumnya luntur. Manik yang berpendar hangat menunjukkan kesedihan, namun berusaha ditutupi oleh sang pemilik.
"Sorry, ya! Kapan-kapan gue beneran ikut, deh!" seru Aiden, dengan suara yang terdengar bersemangat meski agak bergetar. Hidup yang selalu dipenuhi rasa iri akan nasib baik yang dimiliki orang lain menambah kesedihan yang Aiden rasakan.
Balasan kembali terdengar, namun Aiden memilih untuk diam. Melangkahkan kedua kaki jenjangnya menuju mobil Rafka yang terparkir di seberang jalan. Terasa begitu ringan, hingga membuat Aiden ingin berlari menghindari kenyataan yang ada di depan mata.
Senyuman hangat menjadi sambutan ketika Aiden masuk ke dalam mobil. Tidak ingin membalas, ia memutuskan untuk melempar tas ke kursi belakang dan mengubah posisi sandaran hingga hampir 180 derajat.
"Kenapa?" Rafka bertanya heran. Walau akhir-akhir ini wajah Aiden tampak berbeda, tetapi Rafka jarang tidak melihat senyumnya. "Sekolah lo gimana? Ada masalah? Lo akhir-akhir ini nggak pernah dipanggil BK, gue jadi agak tenang."
"Baik semua, kok. Nggak ada masalah sama sekali," jawab Aiden. Tidak bisa menjawab dengan jujur. Rasanya, ia jadi takut untuk mengungkapkan apa yang terjadi di sekolah.
Mengenai teman-teman sekelasnya.
Apalagi mengenai nilainya yang semakin anjlok.
Pikiran Aiden terbagi. Ia tidak bisa fokus ketika jam pelajaran. Apa yang ada di kepalanya hanya satu; apa yang akan terjadi sedetik kemudian?
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?