bagian 19

5.6K 566 50
                                    

Terlalu malam, Aiden pada akhirnya memutuskan untuk menginap di rumah Devin. Simpel, bundanya tidak akan mencari. Menghubungi saja tidak sama sekali. Lagipula, ia juga sedang tidak ingin sendiri. Sehingga, tawaran yang dilontarkan Devin tepat ketika selesai makan malam langsung diiyakannya.

Setelah menarik kasur tambahan, Aiden langsung berbaring di sana. Menatap langit-langit kamar yang lampunya sudah dimatikan. Gelap, namun cahaya dari lampu tidur cukup membantunya untuk melihat sekitar.

Kedua kelopak mata Aiden tidak dapat terpejam sama sekali. Helaan napasnya yang lembut terdengar. Beberapa kali ia bergerak, mencari posisi nyaman. Tetapi, tetap saja, hal tersebut tidak dapat Aiden temukan.

"Den." Panggilan dari Devin terdengar. "Lo bisa tidur?"

Aiden melirik ke sumber suara. Sosok Devin tidak terlihat, yang menunjukkan kalau ia masih tetap pada posisinya. Lalu, kepala Aiden menggeleng perlahan.

"Vin, gue jadi penasaran." Balasan dari Aiden lalu terdengar. "Setelah lulus, lo mau ngapain?"

"Hm ... ngapain, ya?" Jeda yang agak lama terbit. Suara tokek selanjutnya mengisi keheningan di antara mereka. Beberapa detik, hingga Devin melanjutkan, "Gue mau kuliah, sih. Palingan, ya. Soalnya, orang tua gue nyuruh gue buat kuliah, nerusin mereka. Agak ngeri, soalnya gue nggak bisa Biologi sama sekali. Gimana hidup gue ke depannya, ya?"

Aiden tertawa pelan. Empat tahun mengenal Devin, keluhannya terus sama. Orang tua yang memaksa dirinya untuk mengikuti mereka, padahal tidak ada keinginan sama sekali. Namun, tetap, laki-laki itu patuh.

"Kalau lo sendiri, gimana? Lo ... masih kepikiran masa depan lo, 'kan?" Devin balas bertanya.

"Masih, kok. Kadang-kadang," jawab Aiden. Ia menghela napas panjang, mengubah posisi hingga dapat melihat jendela yang tidak ditutup dengan gorden.

Langit yang gelap terlihat dari sana. Tidak ada yang menghias sama sekali. Namun, ada satu bintang yang bersinar begitu terang. Terlihat begitu indah hingga membuat Aiden terpukau.

"Gue pengin jadi bintang," ceplos Aiden tiba-tiba setelah sekian lama diam.

"Jurusan kuliah lo, Den. Kuliah." Devin berdecak heran. "Lo nggak tiba-tiba mau putus sekolah terus jadi artis, 'kan?"

"Bukan." Aiden berdeham sesaat. Pikirannya agak jelek, tapi kalau dipikir lebih lanjut, sepertinya itu adalah pikiran paling optimis yang ia punya untuk saat ini. "Ada di langit kayaknya seru juga. Bersinar. Dipuji orang-orang. Jadi—"

Aiden terkikik geli, sebelum melanjutkan kalimatnya. "Jadi bahan penelitian, terus dikasih nama baru. Hidup sebagai sesuatu yang baru dan lebih dihargai."

"Lo ngomong apa, sih?" Devin bergerak ke pinggir tempat tidur, kemudian menyembulkan kepalanya hingga ia dapat melihat Aiden. "Lo mau kuliah apa nanti?"

"Kuliah apa, ya?" Aiden menempelkan jemarinya ke dagu, membuat wajah seperti sedang berpikir, padahal tidak menemukan jawaban sama sekali.

Aiden tidak tahu masa depannya sendiri.

Ia tidak dapat menebak sama sekali.

"Jadi dokter juga, yuk. Biar kayak gue."

"Nggak. Bisa gila gue."

"Loh, 'kan, emang udah gila."

"Ya, lo nggak salah." Aiden menarik napas panjang. Beberapa bulan lalu, pertanyaan itu mungkin musah untuk dijawab. Nyatanya, sejak di sekolah menengah pertama, ada satu hal yang ingin Aiden lakukan. Setidaknya, ia sudah tahu jurusan apa yang akan dipilihnya selepas dari SMA.

"Gue tebak. Fisika, bukan?"

Aiden menggeleng pelan. "Masuk ke situ, sih. Tapi, gue pengin mendalami Astronomi. Gue suka langit," jawab Aiden pada akhirnya. "Keren, nggak? Nama gue sama jurusan yang gue mau awalannya sama-sama huruf a."

180 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang