Baru dua hari dan Aiden sudah bosan berada di rumah sakit. Hari ini adalah hari Sabtu dan seharusnya ia berada di rumah. Menenangkan diri setelah lima hari bersekolah. Entah itu bermain piano atau dengan kucing tetangga.
Seharusnya, Aiden tidak perlu berada di sini. Meski rasanya begitu menyakitkan ketika berada di rumah, namun tetap, semuanya lebih baik daripada berada di rumah sakit. Hawa dingin yang terkadang membuat Aiden meringis membawanya pada kesedihan dan rasa takut yang mendalam. Membuatnya tanpa sadar merutuki nasib yang begitu buruk.
"Kakak lo jadi datang?" Devin yang sejak tadi duduk di sofa sambil bermain permainan di ponselnya bertanya. Sejak pagi, ia sudah berada di sana. Permintaan Aiden, tentu saja. Jika tidak terlalu kesepian, Aiden mungkin tidak akan memaksa laki-laki itu untuk datang ke rumah sakit.
"Katanya ada urusan dulu," jawab Aiden. Ia tidak bisa terlalu percaya pada Rafka yang sudah berkali-kali mengingkari janjinya. Apalagi, hari ini adalah hari libur dan kakaknya itu pernah berkata jika ia lebih suka menghabiskan akhir minggunya di tempat tidur.
"Kalau nggak datang lagi?"
"Gue malam mingguan sendiri di sini."
"Kasihannya."
Aiden tertawa pelan. Ia sudah terbiasa sendiri, meski kadang memang menyakitkan. Ditambah, ada rasa tidak nyaman yang sejak tadi dirasakan. Hasil hemoglobin terbarunya juga tidak terlalu baik, hingga memperlama waktu perawatan. Bisa-bisa, ia menghabiskan satu minggu penuh di rumah sakit, seperti laki-laki yang kapan hari lalu datang ke kamarnya di tengah malam. Omong-omong, Aiden tidak mendengar kabarnya lagi.
"Terus, katanya kapan lo bisa pulang?" Devin lagi-lagi bertanya. "Guru Fisika kangen sama lo, gara-gara kemarin lo nggak masuk."
"Gue tahu gue ngangenin, tapi rasanya nggak enak juga yang kangen sama gue cuma guru." Aiden berdeham sejenak. Ia melirik langit-langit kamar yang terasa kosong. "Gue nggak tahu kapan gue bisa pulang. Lagian juga, gue baru ketemu dokter gue hari Senin besok. Ditambah, Hb gue masih nggak begitu bagus, katanya. Dah lah, gue nggak begitu paham."
"Setelah ini, lo bakal paham banget sama Biologi."
Aiden diam sejenak, sebelum mengubah posisi hingga ia dapat melihat ke jendela. Surai yang terasa lepek dan gatal membuatnya kesal sendiri. Rasanya, bermalam di rumah sakit benar-benar menyebalkan. Dan begitu menyedihkannya, hingga Aiden merasa takut.
"Vin, gue tiba-tiba ngerasa takut," ucap Aiden pelan. Tangannya perlahan meremas selimut yang ia gunakan.
"Takut? Sama apa?"
"Pikiran gue sendiri."
Devin tidak serta-merta kembali bersuara. Ia mengalihkan fokus dari ponselnya. "Lo kelamaan dikurung di sini," ujar Devin pada akhirnya.
Aiden mau tidak mau mengulas senyum tipis. Mungkin, seumur hidup, hal ini yang harus dia rasakan. Masa depan yang awalnya abu-abu, mendadak lebih gelap lagi. Aiden jadi takut untuk menghadapi hari esok. Bahkan kalau bisa, Aiden ingin selamanya adalah hari ini agar ia tidak perlu menerka-nerka apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Vin, cariin gue pacar," ucap Aiden tiba-tiba, agak keluar dari topik. "Masa, enam belas tahun gue hidup, belum pernah pacaran sama sekali? Kasihannya gue. Tiap malam minggu cuma ngeliatin orang-orang."
"Siapa, ya, yang dua minggu lalu baru aja nolak cewek?" Devin melirik Aiden sinis. "Orang aneh. Biasa nolak cewek, tiba-tiba minta dicariin pacar."
Aiden lantas tertawa. Pada akhirnya, ia kembali mendudukkan tubuh agar dapat melihat Devin sepenuhnya. Wajah pucatnya tampak lebih bercahaya hari ini. Setidaknya, tidak separah ketika Aiden baru masuk rumah sakit kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?