Rafka kira, ia dapat tertidur malam ini.
Nyatanya, begitu Rafka berbaring di kasur tambahan, kedua kelopak matanya tidak dapat juga tertutup. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi dan Aiden sudah izin tidur sejak pukul satu. Setelah berucap bahwa Rafka juga harus tidur, suara Aiden tidak terdengar lagi. Untungnya, ketika Rafka memperhatikan, dada sang adik masih naik turun teratur, yang dapat diasumsikan bahwa ia tidur dengan nyenyaknya.
Menatap langit-langit kamar, sesekali Rafka menguap. Kepalanya terasa penuh meski kantuk mulai menyerang. Rafka sudah berulang kali mengubah posisi tidurnya, namun ia tidak juga merasa nyaman.
Sudah berapa lama ia tidak tertidur di kamar itu?
"Kakak?"
Suara Aiden kembali terdengar. Begitu lirih hingga membuat Rafka terduduk. Ia menoleh, mendapati Aiden kembali membuka mata. Tampak heran karena Rafka kemudian menyahuti panggilannya.
"Gue kira lo udah tidur."
"Lo sendiri kenapa bangun lagi?"
"Kenapa hobinya nanya balik, sih?"
Rafka memeluk guling. Menyandarkan kepala di pinggir tempat tidur hingga membuat Aiden sedikit menggeser tubuh.
"Udah berapa tahun gue nggak pulang ke sini?" Rafka bertanya, lebih kepada dirinya sendiri. Ia rindu dengan masa lalu yang tidak akan pernah bisa kembali.
"Ratusan tahun," jawab Aiden asal. "Tidur, Kak. Jangan begadang terus. Lo yang ngasih tahu ke gue kalau begadang itu efeknya jelek buat tubuh, tapi lo sendiri begadang."
"Gue bilang, gue nggak bisa tidur."
"Lo belum jawab." Aiden berdeham pelan. Menurunkan selimut dan memilih untuk mengambil gelas air yang berada di atas nakas. Meneguknya hingga tandas sebelum berkata, "Ada yang lagi lo pikirin?"
"Tugas kuliah," jawab Rafka. Ia tidak bisa berkata bahwa rasa takut menguasai diri. Risiko kehilangan membuat Rafka enggan menutup mata hingga ia tidak harus bertemu dengan hari esok lebih cepat.
"Bohong," cetus Aiden. "Ah, lo nggak pernah cerita apa-apa ke gue, sih. Percuma mau gue tanya juga, lo nggak bakal jawab serius."
Rafka lantas tersenyum kecut. Berusaha mengalihkan pembicaraan, pada akhirnya ia balik bertanya, "Lo kenapa tiba-tiba bangun lagi?"
"Gue biasa kebangun jam segini," jawab Aiden. "Napas gue agak sesak, makanya beruntung gue masih bisa bangun."
"Kenapa lo nggak bilang dari tadi?!" Rafka memekik panik. Rasa kantuknya benar-benar menghilang saat ini. Berganti dengan rasa khawatir, Rafka hampir bangkit seandainya Aiden tidak tertawa pelan.
"Gue nggak apa-apa, Kak. Udah biasa," ucap Aiden di sela tawanya. Wajahnya yang pucat mungkin tidak dapat ditutupi dengan senyuman, namun Aiden berusaha keras agar Rafka tidak khawatir.
Lagipula, Aiden sudah terbiasa, bukan?Malah sebelumnya, ia harus mengatasi semuanya sendiri.
Tangan Rafka terkepal tanpa ia sadari. Sudah biasa ... katanya? Apa Aiden selalu mengalami hal ini setiap hari? Bahkan tanpa ada yang menyadari?
Sudah jelas, Rafka bukan saudara yang baik.
"Bukannya seharusnya cepat dapat penanganan? Kalau ada apa-apa, gimana? Gue nggak mau lo kenapa-napa," ucap Rafka cepat. Setidaknya, ia tidak ingin merasakan penyesalan lebih jauh lagi.
Aiden menggeleng pelan. "Kak, lo tahu, 'kan, kondisi gue emang udah memburuk?"
"Ya, terus? Karena itu lo juga harus cepat dapat penanganan."
Sejenak, Aiden tertawa. Rafka benar-benar tampak seperti seorang kakak saat ini. Meski matanya kuyu karena belum tidur, namun suara yang sarat akan paksaan itu tidak juga melemah.
Padahal, Aiden sendiri masih dikuasai oleh kantuk. Rasa lelah akan keluhan yang sering kali muncul lantas membuat Aiden ingin cepat kembali terlelap.
"Semisal ada apa-apa terjadi sama gue, lo bakal jadi orang yang pertama tahu, Kak," sahut Aiden penuh ketenangan. Meski ada kesedihan yang dapat membuat suara Aiden bergetar, namun ia berusaha menutupinya. Tidak ingin Rafka jauh lebih khawatir-dan lebih cerewet-lagi.
Kedua lidah Rafka mendadak kelu. Terakhir kali kabar buruk terdengar, nyatanya karena nomor Rafka selalu tersimpan apik sebagai nomor darurat. Dengan begitu, orang pertama yang tahu kondisi Aiden adalah Rafka.
Namun, harus dengan perantara orang lain.
Adiknya itu ... mungkin tidak akan menghubunginya jika skenario buruk itu benar-benar terjadi.
"Gue nggak mau dihubungin lagi kayak waktu itu. Udah cukup sekali."
"Kalau gitu, gue hapus-"
"Bukan begitu, Den," potong Rafka cepat. "Maksud gue, jangan sampai lo kenapa-napa. Biar orang lain nggak perlu ngehubungin gue karena kondisi lo yang buruk."
Aiden lantas mengulum bibir. Tidak dapat menahan senyum yang mau tidak mau terulas. Kehangatan menjalari perasaannya setelah sekian lama. Begitu menyenangkan hingga Aiden tidak ingin kehilangan momen ini.
Meski dunia membencinya, Aiden rasa dirinya sudah cukup dengan kehadiran sang kakak.
•••
"Pokoknya, kalau ada apa-apa, lo harus langsung ngehubungin gue. Jangan paksain diri lo sendiri. Ingat batasan. Jangan-"
Secara dramatis, Aiden mengangkat tangan, menahan ucapan Rafka hingga kakaknya itu menghela napas. Kepalanya menggeleng perlahan. Semalaman, sudah cukup Aiden mendengarkan ucapan berlebihan dari Rafka. Jika dilanjutkan, bisa-bisa hari ini akan terasa lebih berat.
Padahal, baru semalam Aiden bersyukur karena keberadaan sang kakak.
"Kalau lo mati, guru lo nggak rugi. Ingat, tuh."
"Ya, emang nggak ada yang rugi. Lah, yang mati, 'kan, gue."
Rafka berdecak beberapa kali. Mengambil tas yang tergeletak di kursi belakang sebelum melemparnya ke arah Aiden.
"Turun sana," perintah Rafka. Kepalanya pening karena kelakuan Aiden yang kadang membuatnya hilang kesabaran.
Aiden tertawa pelan. Membuka pintu mobil sebelum beralih kembali menatap Rafka. Senyum terbit, begitu lebar seolah melupakan masalahnya. Binar menari di kedua manik cokelatnya.
Ada yang berbeda dari Aiden, namun Rafka tidak dapat mengetahuinya.
"Kak, makasih, ya." Aiden tiba-tiba berucap. "Cuma lo saudara yang gue punya. Lo orang di keluarga yang paling peduli sama gue. Gue janji, gue bakal jadi adek yang membanggakan buat lo."
Rafka tertegun sejenak. Kepalanya mungkin mengangguk, senyum juga terlukis di bibirnya.
Namun, satu hal yang Rafka rasakan; ketakutannya seolah akan menjadi nyata.
•to be continued•
A/n
AKU NGETIK PART INI SAMBIL NANGIS. SOALNYA AKU NGETIK TADI PAGI PAS LAGI DINAS MALAM. DAN SAMBIL NYIAPIN OBAT YANG BANYAK BANGET KARENA TADI MALAM BAU BANGET 😭😭
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?