Aiden tahu, Rafka benar-benar marah.
Berhari-hari sang kakak tidak mengacuhkan dirinya sama sekali. Pesan yang belum berbalas. Dibaca saja tidak. Berhari-hari pula Aiden menunggu kedatangan Rafka di depan pintu. Menanti laki-laki tersebut muncul membawa makanan kesukannya.
Satu minggu.
Dua minggu.
Tiga minggu.
Hingga tanpa Aiden sadari, ia melewatkan jadwal pengobatannya begitu saja.
Beberapa pesan yang masuk ke ponsel, mengingatkan pada jadwal kontrol. Namun, berkali-kali Aiden menghapusnya. Atau paling tidak, membiarkannya tidak terbaca sama sekali. Kalender yang sudah dilingkari oleh Rafka sebagai tanggal yang penting tidak lagi ia pedulikan.
Aiden tidak bisa peduli lagi pada dirinya.
Beberapa kali keluhan muncul. Sempat membuat Aiden tidak bisa mengikuti pelajaran. Terbaring begitu saja tanpa ada seseorang yang menyadarinya. Aiden sendiri jika peduli lagi jika ia mati sendirian setelahnya.
Sempat Aiden kira Ana akan mengajaknya berbicara, tetapi ruang makan selalu terasa dingin begitu keduanya duduk berhadapan. Aiden ingin membuka mulut, hanya saja Ana terlebih dahulu menunjukkan ketidaktertarikannya pada sang putra. Hingga akhirnya, Aiden menyerah begitu saja.
Nyatanya, perubahan kemarin hanya sekadar rasa kasihan Ana. Mungkin, setelah mengetahui Aiden masih bisa bertahan hidup, kepedulian Ana perlahan kembali memudar. Hingga kini, sosok Ana semakin jauh dari pandangan Aiden.
Lama-kelamaan, Aiden sadar, keinginannya untuk bertahan hidup tidak ada lagi.
Tidak ada yang peduli padanya.
Bahkan, dirinya sendiri.
•••
Ada sesuatu yang berbeda pada diri Aiden.
Sejak terakhir kali Devin berkunjung ke rumahnya, sejak saat itu pula sisi positif yang Aiden miliki mulai terkikis. Ketika sebelumnya Aiden sering melontarkan ocehan tidak bermutu, kali ini ia memilih untuk lebih banyak diam.
Aiden mungkin menyadari bahwa ia harus mulai belajar untuk menjaga kata, tapi bukan ini maksud Devin.
Bahkan ketika waktunya istirahat, Aiden lebih memilih diam di kelas. Mengerjakan soal Fisika yang sebelumnya juga pernah ia kerjakan. Mengulangi dari awal, sampai Devin sendiri hafal jawabannya dalam sekali lihat.
Dengan alasan bahwa waktu olimpiade semakin dekat, padahal Aiden sudah tidak lagi memiliki keinginan untuk menang. Toh, rasanya percuma. Siapa yang akan peduli pada kemenangannya?
Apa ... ada seseorang yang akan bangga padanya?
Tetapi, Devin sendiri tahu, setiap kali Aiden lebih memilih untuk mengerjakan soal Fisika di waktu istirahat, laki-laki itu pasti sedang ada masalah.
Permasalahannya, hal tersebut sudah berlangsung hampir sebulan lamanya.
"Soal nomor 25 jawabannya C," celetuk Devin ketika melihat Aiden kembali mengerjakan soal yang sama.
"Oh, ya?"
Devin diam sejenak. Mengerjap beberapa kali. Nada suara Aiden tidak terdengar bersemangat. Suaranya serak. Tidak seperti biasa ketika dirinya yang menyumpal telinga dengan earphone, kali ini Devin hanya berharap suara Aiden kembali muncul.
"Lo udah ngerjain soal itu empat kali. Empat kali juga gue lihat jawabannya, selalu sama." Devin mengedikkan bahu. "Kalau salah, berarti lo salah dari awal."
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?