Kehidupan ini menyakitkan.
Andai saja Aiden bisa memilih, mungkin ia akan memilih dilahirkan sebagai orang lain. Memiliki tubuh yang sehat, keluarga yang hangat, masa depan yang menyenangkan. Tidak ada rasa takut akan hal yang terjadi besok.
Aiden ingin merasakan rasanya diberi kasih sayang sepenuhnya. Diharapkan keberadaannya. Atau paling tidak, menjadi seorang anak yang dianggap keberadaannya.
Aiden diberi nama, namun ia jarang mendengar namanya dipanggil dengan benar oleh kedua orang tuanya.
Rasanya, harapan Aiden terlalu muluk-muluk, hingga sejak dahulu, ia tidak pernah lagi terlalu berharap. Aiden hanya terus bergerak maju. Meski sesekali ... kepalanya memaksa untuk menoleh ke belakang. Berharap ada yang berdiri di sana dan berkata bahwa dirinya pantas untuk tetap hidup.
Paling tidak, hanya untuk saat ini.
Potongan apel dari pasien sebelah menjadi penutup sarapannya kali ini. Meski Aiden mengingat bahwa buah seharusnya dimakan sebelum menu utama, namun ia tidak peduli. Satu hal yang penting, menu sarapannya hari ini lebih enak daripada biasanya.
"Kakak, sore ini ke sini, 'kan?" Aiden kembali bertanya setelah menghabiskan apelnya. Ia menoleh ke arah jendela. Sinar matahari yang masuk melalui sela-sela gorden membuat Aiden merasa sedikit hangat. Ia mengusap kedua tangan yang terasa dingin, kemudian menempelkannya di pipi. Merasa bahwa hari ini dimulai dengan baik, meski ada satu perasaan mengganjal yang membuat senyum Aiden tidak dapat merekah.
"Iya, tenang aja. Gue ke sana, kok. Gue, 'kan, udah janji mau jagain lo. Mau nemenin lo treatment juga."
Aiden mengulum bibir. "Kemarin ... bunda yang bawa gue ke sini, 'kan?" Aiden bertanya. Kepalanya kemudian tertunduk. "Kenapa nggak sekalian jengukin, ya? Masa, nggak penasaran sama keadaan gue sama sekali?"
Kemudian, tawanya terbit begitu saja, terdengar tidak bermakna sama sekali. "Alah. Berharap apa gue?" gumamnya pelan. Merasa badannya kembali tidak nyaman, Aiden membaringkan tubuh.
"Den, gue minta bunda buat datang jenguk lo, ya?"
Aiden menggeleng cepat. Ia tahu, Ana tidak akan datang begitu saja. Apalagi sampai harus meninggalkan pekerjaannya.
"Nggak usah. Nggak apa-apa, Kak."
Dada Aiden terasa sesak. Selain nyeri di area persendian yang terasa lebih menyakitkan dibanding sebelumnya. Ringisannya terbit begitu saja. Aiden ingin menahannya, namun ia tidak bisa.
"Kak, gue istirahat dulu, ya."
"Lo serius nggak apa-apa sendiri?"
"Nggak apa-apa, kok. Gue, 'kan udah biasa. Lo fokus kuliah aja."
"Oke, deh. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi gue, ya."
Aiden tidak langsung menjawab. Ia tidak ingin mengganggu aktivitas Rafka. Jadi, ia hanya berkata, "Iya, Kak. Tenang aja."
"Istirahat yang tenang, ya. Biar bisa cepat sembuh."
Aiden terkikik geli sesaat. "Iya, iya. Bye-bye, Kak." Lalu, panggilan diputuskan begitu saja.
Aiden memang berkata bahwa ia terbiasa sendiri. Rafka tidak perlu mengkhawatirkannya. Namun ....
Harus berjuang sendirian ternyata menyakitkan.
•••
Aiden baik-baik saja ketika Rafka meninggalkannya. Bahkan, beberapa saat setelah Rafka sampai ke kampus, adiknya itu masih bisa menghubungi. Berkata bahwa sarapan hari ini lebih enak daripada sarapan sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?