bagian 36

7K 668 95
                                    

"Apabila dilakukan transplantasi sumsum tulang, tingkat kesembuhan diperkirakan sekitar tujuh puluh sampai delapan puluh persen." Rafka bergumam, membaca setiap kata yang tertera di layar laptopnya. Ia sudah selesai mengerjakan tugas, hingga akhirnya mengerjakan hal lain; mencari segala macam pengobatan yang dapat Aiden lakukan.

"Keuntungan ... sel punca donor dapat membuat sel kekebalan yang dapat membantu menghancurkan sel kanker di tubuh pasien." Kedua kelopak mata Rafka sedikit menyipit. "Apa itu sel punca?"

Rafka mengusap wajah. Semakin tidak mengerti dengan apa yang dibacanya. Untuk sejenak, ia melirik Aiden yang barusan izin untuk tidur. Merasa sedih karena melihat tubuh adiknya tersebut semakin mengurus.

"Nggak ngerti!" Rafka berseru frustrasi. Masih berusaha menahan suaranya agar tidak membangunkan Aiden serta mengganggu pasien yang lain. "Aduh, andai gue masuk kesehatan, Den. Mungkin, gue bisa ngomong sama dokter lo buat ngasih perawatan terbaik."

Rafka tahu, percuma ia berandai-andai. Nyatanya, Rafka juga sadar dengan kemampuan otaknya yang tidak seberapa.

"Kalau gue baca di Gugel, sel punca itu sel yang belum punya fungsi khusus. Terus, katanya bisa menyesuaikan diri. Serem banget nggak, sih?" Rafka mengusap lengannya perlahan. "Gara-gara lo, gue jadi harus baca informasi kayak begini. Gue nggak ngerti sama sekali, Den. Serius, gue bodoh banget, ya."

Rafka terkikik geli. Merapikan selimut yang Aiden gunakan. Kedua netranya menatap wajah sang adik lekat-lekat. Rasanya, baru kemarin Rafka memiliki seorang adik. Tampak begitu mungil dan rapuh.

Lalu, waktu terlewati begitu saja. Keduanya sama-sama tumbuh, namun Aiden menjadi lebih kuat dibanding Rafka. Hanya saja, saat ini ... adiknya itu mungkin sedang berada di posisi terendahnya.

"Kayaknya, gue bisa donorin sumsum tulang gue buat lo, nih, Den. Usia gue cukup, gue nggak ada penyakit apa-apa, gue sehat seratus persen. Tapi ...." Rafka menarik napas panjang. "Cocok nggak, ya? Kalau nggak cocok, justru nggak bisa, 'kan? Risiko terbesar juga ada di lo. Kalau misal ternyata sumsum tulang gue cocok buat lo, lo mau nerima nggak?"

"Ah, lo cepat-cepat sembuh, ya. Nggak bisa gue lihat lo begini terus." Rafka menunduk dalam. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. "Gue berharap banget. Kalau gue bisa tukar posisi, gue mau jadi lo. Paling nggak ... biar lo nggak perlu ngerasain sakit terus-terusan. Karena selama ini, lo nggak pernah benar-benar bahagia, 'kan?"

Tidak ada balasan. Aiden tetap terlelap. Kedua kelopak matanya terpejam erat. Dadanya naik turun teratur. Tampak begitu damai, hingga Rafka tidak berani mengganggunya sama sekali.

Jemari Rafka mengusap punggug tangan Aiden. Begitu lembut, takut setiap sentuhannya justru menyakiti.

"Gue nggak tahu harus gimana kalau lo ninggalin gue. Jadi, gue mohon banget, Den. Terus berjuang, ya."

•••

Aiden tampak lebih lemas daripada sebelumnya. Ia masih sanggup berjalan ke parkiran, namun tumbang begitu sampai di kamar. Tubuhnya yang terdapat lebam ambruk begitu saja ketika berada di depan kasur.

Beruntung, hari ini adalah hari Sabtu. Aiden tidak perlu membolos lagi. Setidaknya, satu masalah dapat dicegah.

Rafka menepuk punggung Aiden beberapa kali. Padahal, ketika diobservasi, laki-laki itu tampak begitu kuat. Tidak berhenti menyunggingkan senyum, membanggakan diri yang berhasil melewati kemoterapi keduanya.

Namun ... apa?!

"Gue rasa mual banget." Aiden berucap lirih. "Cuma, udah puas banget gue muntah. Gue harus muntahin apa lagi, Kak?"

180 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang