"Semisal, teori lubang cacing tiba-tiba kebukti kebenarannya, kayaknya gue bakal pergi ke masa lalu terus menghancurkan dunia."
Rafka mengernyit heran sampai-sampai ia mengalihkan pandangan dari televisi yang menampilkan film kartun. Tangannya terangkat, lalu menyentuh kening Aiden. Heran sendiri karena sang adik berbicara aneh secara tiba-tiba.
"Efek samping obat bius kah?" Rafka bergumam pelan. "Gue pikir, efeknya udah hilang setelah lo ngomongin teori relativitas sampai khatam. Ternyata masih ada lagi, ya?"
"Gue serius!" seru Aiden.
Rafka seharusnya menolak ketika Ana menyuruhnya untuk menemani Aiden, sementara ia menyelesaikan urusannya. Kondisinya tepat setelah selesai operasi, terkadang laki-laki itu masih saja bicara asal ke mana-mana. Permasalahan selanjutnya, kepala Rafka lama-lama seperti akan pecah saat Aiden tiba-tiba membicarakan semua hal mengenai Fisika.
"Serius dari mana kalau lo bilang lo mau ngancurin dunia." Rafka berdecak beberapa kali. Pada akhirnya, ia mengubah televisi ke saluran lain. "Omongan lo akhir-akhir ini suka ngaco, ya. Heran."
Aiden diam. Menaikkan selimut hingga menutupi setengah wajah. Hari ini terasa begitu dingin. Mungkin, efek ruang operasi masih juga terasa di tubuhnya.
"Gue dengar dari bunda, lo juga memutuskan buat nggak jalanin pengobatan lagi." Rafka menghela napas panjang. Ia berpindah posisi dari sofa ke kursi kecil di sebelah bed. Kedua tangannya terlipat di depan dada.
"Dasar orang aneh," celetuk Rafka kemudian. Meski emosi, namun ia harus menahannya. Jangan sampai tangan Rafka tiba-tiba bertindak dan memperburuk kondisi kembali. "Bunda udah mulai peduli sama lo, tapi lo sendiri nggak peduli sama diri sendiri. Padahal, lo bisa memperpanjang umur dengan pengobatan, 'kan?"
Rafka menunduk sesaat, menatap kedua tangannya. Berbicara rasanya begitu mudah. Tapi, jika dirinya yang berada di posisi Aiden, apa Rafka dapat mengucapkan hal yang sama?
Tidak langsung menjawab, Aiden justru tertawa. Sok-sokan mengusap air mata pula, padahal reaksi tersebut hanya tampak seperti formalitas belaka. Nyatanya, sejak awal Aiden sudah memikirkan banyak hal yang akan terjadi jika ia melakukan pengobata. Salah duanya adalah kesembuhan yang dapat diraih dan efek samping yang justru memperburuk kondisi.
Pada akhirnya, satu kali, dua kali Aiden melakukan pengobatan tersebut, efek samping yang menyiksa justru membuatnya ingin menyerah saja. Banyak cerita mengenai pasien yang berhasil disembuhkan, namun tidak serta-merta membuat semangat Aiden meningkat. Ada banyak pikiran yang mengganggu, yang mengganggu Aiden setiap malamnya.
"Apa iya?"
Balasan singkat itu membuat Rafka menggeram kesal. Tangannya perlahan menjitak kening Aiden, yang langsung disambut oleh ringisan.
"Kepala lo kebentur keras pas kecelakaan, pikiran lo pasti berantakan," ucap Rafka. "Tapi, kenapa lo ngocehnya soal Fisika terus dari tadi?"
Aiden terkekeh geli. Meski kemudian helaan napasnya terbit. Ia mengusap lengannya yang terasa nyeri. Efek samping obat antinyeri mungkin telah menghilang sepenuhnya. Setelah ini, Aiden berpikir untuk meminta dosis obat yang lebih tinggi. Kalau bisa, sih, sekalian membuatnya bebas saja.
Kepedulian Ana mungkin membuatnya merasa lebih senang, namun Aiden sudah terlalu lama menunggu. Ketika impiannya terwujud, rasa lelah lantas membuat Aiden ingin tidur saja. Toh, harapannya sudah terwujud. Tidak ada lagi yang ia inginkan.
"Den, nggak ada rasanya kalau lo dapat perhatian bunda cuma sebulan dua bulan. Semakin lama, gue yakin lo pasti pengin tetap hidup biar terus ngerasain kasih sayang." Rafka kembali berbicara. "Lo pikirin baik-baik lagi. Gue bukannya maksa. Lo juga udah cukup ngerti buat ngambil keputusan, walau lo baru enam belas, sih. Tapi, gue yakin, di satu sisi, lo masih tetap mau hidup."
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?