bagian 33

5.1K 557 16
                                    

Aiden rasa, pilihannya untuk mengikuti olimpiade Fisika adalah sebuah kesalahan. Seharusnya, ia tidak perlu gegabah untuk memutuskan. Lagipula, Aiden juga tidak tahu apa ia akan dapat mengikuti lomba tersebut atau tidak.

Saat bel istirahat berbunyi, Bu Erna memanggil. Memberikan soal latihan yang harus ia kerjakan ketika waktu istirahat. Nantinya, soal-soal tersebut akan dibahas ketika sesi latihan sepulang sekolah.

Oleh karena itu, setelah menunaikan salat zuhur, Aiden duduk di meja kantin dengan buku yang terbuka. Pandangan aneh ia dapatkan dari teman-temannya yang lain. Masalahnya, siapa pula yang lebih tertarik mengerjakan soal Fisika dibanding semangkuk bakso?

Devin, dengan wajah lelahnya setelah dihukum berlari mengelilingi lapangan karena terlambat, akhirnya menarik pensil yang Aiden gunakan. Sementara Agha yang berada di hadapannya menarik buku tersebut. Membuat coretan panjang di kertas soal, yang langsung membuat Aiden menoleh. Mengerjap beberapa kali, merasa kesal sendiri.

"Lo ngapain, sih?" tanya Aiden sebal. Ia berusaha meraih pensilnya, namun gerakan Devin lebih cepat. "Lo juga, Gha. Nggak usah ikut-ikutan."

"Makan dulu, Den." Agha yang bersuara, sementara Devin kembali menidurkan kepala di atas meja.

"Gue nggak nafsu makan sama sekali," balas Aiden. Ia meraih pensil dan bukunya kembali. "Tadi udah makan roti, kok."

"Roti doang mana kenyang, Den." Chiko menimpali. Ia mungkin terlihat tidak peduli dan lebih fokus pada permainan di ponsel, namun sedari tadi dirinya juga ikut mendengarkan. "Kalau lo sakit lagi, siap-siap lo bakal jadi bahan omongan terus-terusan. Lagian, kenapa lo nggak ngasih tahu aja, sih, lo sakit apa? Cuma Devin sama wali kelas lo yang tahu, 'kan?"

"Nggak apa-apa. Cerita kayak gitu nggak seharusnya disebarin juga," balas Aiden. Ia fokus membaca soal. Agak sedikit mengernyit, kemudian tangannya menggaruk kepala yang tidak gatal. "Soal apaan, sih, ini? Nggak jelas banget."

"Rekor, pertama kali dengar Aiden ngeluh tentang soal Fisika. Itu pikiran gue setiap kali baca soal Fisika." Suara sorakan dari Devin terdengar. "Emang paling benar lagi jam istirahat itu makan bakso, bukan ngerjain soal Fisika. Lagian, ada-ada aja Bu Erna. Bukannya dibiarin istirahat pas jam istirahat, malah disuruh ngerjain soal."

"Nggak masalah. Gue suka, kok."

"Sama Bu Erna?"

"Ngaco."

Aiden mengembuskan napasnya lesu. Ternyata, lama-lama ia mual juga ketika membaca soal. Jadi, Aiden memutuskan untuk menutup buku dan menjauhkan dari pandangannya.

"Nih, makan dulu. Chiko yang traktir, sebagai pewaris takhta perusahaan orang tua." Agha mendorong mangkuk bakso yang sudah dipesan. Kuahnya sudah agak dingin, namun tetap menggoda.

"Ya, nggak apa-apa. Biar Aiden mau makan."

Aiden mengulum senyum tipis. Teman-teman sekelas Aiden mungkin tidak menyukainya akibat keabsenan dirinya selama beberapa minggu. Ditambah dengan berbagai rumor yang menyebar. Tetapi, memiliki beberapa teman yang masih mau menganggap Aiden ada, ternyata sudah cukup.

Sekolah memang mengerikan, namun lebih baik daripada harus terkurung di rumah sakit. Terbaring lemah, seperti menunggu waktu untuk dipanggil. Terus berharap agar bisa pulang tanpa kehilangan nyawa.

Berhari-hari, Aiden pada akhirnya menyadari; hal sesederhana perhatian dari teman pun bisa membuatnya memaknai hidup. Waktunya mungkin tidak akan lama, namun Aiden selalu yakin, jika saatnya tiba nanti, akan ada satu atau dua orang yang menangisi kepergiannya.

Dan mungkin ... bundanya adalah salah satunya.

•••

"Lo ngapain, sih, ikut lomba-lomba begitu? Nyita waktu banget, Den. Padahal lo harus istirahat. Belum lagi—"

"Iya, iya. Paham, kok." Aiden mengusap telinganya. Ia sedikit menyesal karena telah memberi tahu Rafka. Mungkin, seharusnya, Aiden diam saja dan baru berbicara dengan sang kakak ketika ia mendapatkan juara. "Ini juga gue lagi istirahat, kok. Sebelum latihan lagi, sih."

Aiden tidak begitu mengerti kenapa Rafka menjadi lebih protektif. Padahal, ia sudah berkata pada Rafka agar tetap bersikap seperti biasa. Anggap saja Aiden tidak menderita penyakit sama sekali.

"Aduh. Lo bahkan nggak akan makan kalau nggak dipaksa makan. Gue nggak percaya lo bakal istirahat kalau nggak dipaksa istirahat, atau collapse duluan."

"Iya, Kak. Lo cerewet banget. Gue juga paham, kok," balas Aiden. "Udah, deh. Gue mau latihan. Nanti, kalau udah selesai, gue telepon lagi."

"Gue nggak mau dengar kabar lo masuk rumah sakit lagi. Awas aja."

Aiden tertawa pelan. Ia juga tidak berminat untuk kembali masuk ke sana. Sudah cukup rasanya sampai Aiden muak sendiri.

"Ya, nanti gue kabarin lagi. Bye-bye!"

Aiden meletakkan ponsel di atas meja, tanpa memutuskan panggilan terlebih dahulu. Ia merenggangkan tubuh dan menguap karena sedikit mengantuk. Kepalanya mungkin pusing karena soal latihan, namun itu lebih baik daripada harus memikirkan apa besok Aiden masih bisa hidup atau tidak.

Satu ketukan di pintu lantas membuat Aiden menoleh. Agak sedikit heran, ia bangkit dari kursi. Masalahnya, siapa pula orang yang akan mengetuk pintu kamarnya di jam sepuluh malam begini?

"Siapa—" Kedua kelopak mata Aiden melebar. Ia kemudian mengerjap, lebih terkejut daripada sebelumnya. "Bunda?"

Suara yang terdengar lirih tanpa senyuman sama sekali. Raut keterkejutan benar-benar mendominasi, meski Aiden sudah berusaha menetralkan ekspresinya.

"Bunda ... kenapa? Malam-malam begini." Aiden menatap Ana lekat-lekat. Bundanya itu masih mengenakan kemeja kerja dengan tas yang masih tersampir di bahu kanan.

"Belum tidur ternyata." Suara Ana terdengar. Meski tetap terasa begitu dingin. "Saya bawakan makanan. Siapa tahu kamu belum makan."

"Makanan?" Aiden menatap tangan Ana. Semakin tidak percaya dengan apa yang dilakukan sang bunda. "Buat aku?"

Ana mengangguk. Memberikan bungkusan yang dibawanya.

"Jangan lupa istirahat. Kamu ... lagi sakit, 'kan?"

Belum sempat Aiden membalas, Ana langsung membalik tubuh. Berjalan meninggalkan Aiden yang masih berdiri di depan pintu dengan kebingungan yang menguasai.

"Makanan ... dari bunda?" Gumaman Aiden kembali terdengar. Senyumnya kemudian terulas begitu lebar. Ia berjalan mundur, kembali masuk ke kamar dan duduk di atas kasur. Kedua netra Aiden menatap lekat-lekat pada bungkusan yang diberikan Ana. Sorotnya menampilkan kebahagiaan.

"Bunda akhir-akhir ini mulai berubah, ya." Aiden tertawa pelan. "Semenjak gue pingsan di depan bunda, dia jadi perhatian ke gue. Berarti ... Tuhan ngasih sakit ke gue, biar bunda perhatian ke gue. Terus, gue mati dalam keadaan bahagia."

Aiden menarik napas panjang. "Benar begitu, 'kan?"

•to be continued•

A/n

Hehehehehe

Akhirnya 180d ngalahin sonder wkwkwk

180 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang