Ana kira, ia akan melihat kemungkinan paling buruk ketika tirai hijau terbuka. Napas yang sedari tadi memburu, kemudian terdengar lega, begitu mendapati Aiden tersenyum lebar. Menyapa dengan lambaian tangan yang tampak lemah.
"Bunda!" sapa Aiden. Ia berusaha mengubah posisi hingga benar-benar duduk, namun nasal kanul rasanya seperti menahan. Wajah yang semakin pucat tidak lagi menyorotkan sinar. Aiden berusaha terlihat baik-baik saja, namun mustahil.
"Kamu ... nggak apa-apa?" Ana bertanya. Ia meraih kursi kecil, menariknya, sebelum duduk di sana. Kedua netranya memperhatikan Aiden dengan intens. Tetesan darah terdapat di seragam putih yang ia kenakan.
"Nggak apa-apa," jawab Aiden. "Aku udah selesaiin semua soalnya tadi. Terus, pas mau balik ke sekolah, tiba-tiba badan aku nggak enak banget. Udah dari semalam, sih, sebenarnya."
Harusnya, Ana bisa menebak jawaban Aiden sebelum laki-laki itu selesai berbicara.
"Katanya, aku harus dirawat. Tapi, Bun, tolong bilangin ke dokternya, dong. Aku mau pulang aja." Aiden sedikit merajuk. "Aku udah nggak apa-apa, kok. Aku baik-baik aja sekarang. Dokternya berlebihan banget. Aku masih bernapas, kok, sekarang."
Tidak sepenuhnya percaya, namun Ana tetap bangkit. Wajah Aiden terlihat berusaha begitu meyakinkan. Ditambah dengan kedua telapak tangan yang saling menyatu, memohon agar Ana mengabulkan permohonannya.
"Boleh, ya, Bun? Setelah ini, aku nggak akan minta apa-apa lagi, kok. Aku cuma mau tidur di rumah, soalnya lebih tenang." Aiden melanjutkan. "Kalau dirawat, bisa-bisa aku susah tidur. Belum lagi, jadwalnya pemerikaan tensi, terus obat, terus ada cleaning service, terus—"
"Ya, ya. Saya coba tanya dulu, ya," potong Ana.
Aiden tidak tampak seperti orang yang sedang sakit parah saat ini. Tingkah laku yang tetap ceria, senyum yang merekah lebar. Jika tidak bertanya, tidak akan ada yang menyadari bahwa saat ini tubuhnya sedang sekarat. Seolah menunggu waktu yang makin lama semakin dekat.
"Yeay!" seru Aiden kemudian. "Kalau nggak boleh, bilang, makanannya jangan ada bawang putihnya, terus—"
"Cukup, Aiden. Saya paham." Ana lagi-lagi memotong ucapan Aiden. Meraih tasnya yang diletakkan di pinggir brankar.
"Bunda emang terbaik, deh!" Aiden mengacungkan ibu jarinya. "Makasih, ya, Bun. Di rumah nanti, aku bakal masakin makan malam yang paling enak buat Bunda."
Ana membalik tubuh, tidak mampu menahan senyum sama sekali. Jemarinya perlahan membuka tirai, sebelum melangkah ke arah nurse station.
Anehnya, hati Ana seolah menghangat.
•••
"Loh, lo nggak balik ke sekolah? Kenapa? Ada masalah?" Devin bertanya, membalik buku ke halaman 187.
Suara tawa terdengar, begitu menyebalkan. "Gue masuk rumah sakit lagi," jawab Aiden, terdengar begitu santai, meski yang mendengarnya justru menahan napas sesaat.
"Den? Lo nggak apa-apa? Hasil pemeriksaan terakhir lo gimana?" Devin menggigit bibir bawahnya sejenak. Tangannya terkepal. Kenapa pula Aiden masih bisa terdengar begitu santainya?
"Hm? Hasilnya? Aman, kok. Nggak ada masalah berarti. Cuma, katanya, sel kanker gue nyebar," jawab Aiden. "Apa, sih, bahasa kerennya? Metastasis? Keren, ya, bahasanya. Berasa kupu-kupu aja, bermetastasis."
"Nggak lucu. Lagipula, metamorfosis, bukan metastasis. Omongan lo juga kontradiktif gitu," gumam Devin pelan. Ia bahkan tidak menyangka Aiden masih bisa menjawab pertanyaan itu tanpa getar di suaranya. "Den, coba bilang ke gue. Gue nggak yakin lo nggak apa-apa."
Suara tawa lagi-lagi terdengar. "Kalau lo lihat gue sekarang, gue yakin lo bakal percaya kalau gue baik-baik aja," sanggahnya. "Ngomong-ngomong, gue mau cerita soal olimpiade tadi. Beruntungnya, soal yang gue kerjain mirip sama soal latihan. Gue bisa ngerjain semuanya. Kayaknya ... bakal menang, nih."
"Apa itu yang penting sekarang?"
"Ya, penting banget, lah, Vin!" seru Aiden. "Kalau gue menang—"
"Bunda lo bakal bangga. Lo udah ngucapin itu berkali-kali." Helaan napas Devin terbit. Padahal, siapa yang peduli dengan kemenangan jika juaranya tidak dapat melanjutkan hidupnya?
"Yes! Betul banget. Lo paling ngerti, deh, Vin, sama gue." Suara Aiden tidak terdengar jelas untuk sejenak. Namun, Devin tahu bahwa ia sedang berbicara dengan orang lain.
"Ah, jadi, gue putusin buat pulang ke rumah, karena gue rasa, kondisi gue masih aman buat tidur di rumah. Kalau di sini, rasanya gue makin nggak tenang." Aiden kembali terdengar. "Napas gue juga udah nggak sesesak tadi. Katanya, oksigen dalam darah gue udah bagus juga. Cuma ... ya, hemoglobin gue turun lagi. Tapi, masih nggak apa-apa, kok. Kalau gue rasa kondisi gue malah makin buruk, gue bakal balik ke rumah sakit."
"Jangan paksain diri lo sendiri. Dengerin kata orang yang lebih ngerti."
"Iya, iya. Paham, kok." Suara kekehan terdengar. "Jadi ... gue balik dulu, ya. Kalau besok bisa, gue bakal masuk sekolah. Kalau nggak, ya, gue bolos lagi."
"Ya."
"Oke, deh. Semoga, besok gue bisa masuk sekolah, deh. Malam ini gue mau masak enak, dan rencananya lo mau gue bawain juga besok," lanjut Aiden. "Karena lo teman gue yang berharga banget, anggap aja itu sebagai ucapan terima kasih dari gue."
Kenapa pula ucapan Aiden terdengar begitu menyeramkan di telinga Devin?
"Lo ... bakal baik-baik aja, 'kan?"
"Iya. Menurut lo, gue bakal kenapa?"
Devin tidak dapat lagi membalas.
"Ya udah, gue balik dulu, ya. Gue nggak tahu kenapa lo diam aja, nggak kayak biasanya." Aiden akhirnya mengalihkan pembicaraan. "Sampai jumpa besok. Semoga kita masih bisa ketemu lagi."
"Ya ...."
Panggilan diputuskan begitu saja. Meninggalkan Devin yang membeku di tempat. Ponsel masih menempel di daun telinga.
"Semoga ... nggak ada berita buruk dari lo, Den."
•••
Nyatanya, pulang ke rumah adalah keputusan yang salah. Jangankan memasak makan malam, bangkit dari tempat tidur saja Aiden tidak mampu. Sepertinya, benar apa kata Devin. Ia harus mendengarkan ahlinya daripada keinginan sendiri.
"Nggak apa-apa, nggak perlu masak," ucap Ana setelah meletakkan ransel Aiden di atas meja belajar. "Kamu istirahat saja."
"Maaf," ucap Aiden lirih. Ia tidak langsung mengganti seragamnya, melainkan berbaring dan memeluk guling. "Kapan-kapan ... aku bakal masakin Bunda, ya. Aku janji."
"Ya, kapan-kapan."
Aiden tersenyum. Menepuk sisi tempat tidurnya yang kosong. "Boleh temenin aku sekali aja? Aku takut."
Ana awalnya diam, namun ia segera bergerak. Duduk di sebelah Aiden. Mengusap puncak kepalanya dengan lembut.
"Seharusnya ... aku bisa rasain ini sejak lama. Aku nggak mau usapan Bunda hari ini jadi yang pertama dan terakhir kalinya." Aiden berujar lirih. "Rasanya ... nyaman banget. Aku pasti bisa tidur nyenyak setelah ini. Terima kasih, ya, Bun. Aku ... senang banget."
•to be continued•
A/n
Besok aku dinas pagi, tapi pengin update wkwkwk
Sekarang, waktunya tidur 😀
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?