bagian 9

7.9K 754 95
                                    

Aiden kira, ketika ia bangun dari tidur, demamnya akan menghilang. Atau paling tidak, sedikit berkurang. Nyatanya, semalaman ia malah sulit tertidur. Saat pada akhirnya membuka mata, erangan Aiden muncul begitu saja. Tidak segera bangkit, bahkan ketika ia tahu bahwa jam dinding sudah menunjukkan pukul enam pagi.

Tubuh Aiden lemas dan napasnya terasa sesak, seolah ia baru saja berlari jauh. Ketika memaksakan diri untuk bangkit, pandangan Aiden seperti berputar. Perlahan, tangannya terangkat, memijat pelan keningnya.

Berusaha tidak terlalu mengacuhkan keluhan yang dialami, Aiden berusaha bangkit. Ia tidak mungkin berangkat ke sekolah, apalagi harus mengendarai motornya seorang diri. Namun, Aiden juga tidak mungkin berdiam diri di kamar tanpa melakukan tindakan apa-apa.

Satu langkah yang terasa berat, hingga Aiden bertumpu pada ujung meja belajar. Ia meraih termometer yang tergeletak di atas meja, menekan tombol kecil pada permukaannya, lalu menyisipkan benda kecil tersebut ke ketiaknya.

Seraya menunggu, Aiden berjalan ke luar kamar. Berusaha mencari sang bunda, meski kemungkinan untuk dipedulikan terlampau kecil. Aiden tidak peduli dengan lantai yang terasa begitu dingin.

"Bunda ...." Aiden memanggil Ana ketika melihat wanita itu keluar dari kamar. "Bun, bisa bantu aku sekali aja?"

Satu lirikan tajam tidak lantas membuat Aiden berhenti. Ia meraih termometer yang berbunyi pelan. Membaca angka yang tertera di sana.

"Aku sakit, Bun. Boleh tolong antar ke rumah sakit sebentar? Sekali ini aja," pinta Aiden, berharap untuk sekali ini saja, Ana akan luluh. Paling tidak, untuk hari ini saja. Setelahnya, ia tidak akan meminta lebih.

Ana diam. Melirik Aiden dari atas ke bawah, dan sebaliknya. Lalu, jemarinya membuka tas yang dikenakan dan mengambil dompet dari dalam sana.

"Saya kasih kamu uang. Gimana caranya kamu ke rumah sakit, terserah." Ucapan yang bahkan tidak Aiden harapkan itu terlontar begitu saja. "Saya nggak peduli."

Aiden mundur selangkah hingga punggungnya menabrak dinding. Aiden tahu, seharusnya ia tidak berharap lebih. Dengan terpaksa, ia menerima beberapa lembar uang dan kartu yang diberikan oleh Ana, meski harus diakui, benda tersebut tidak ia butuhkan. Manik cokelatnya yang tampak gelap menatap Ana dalam-dalam.

"Bun, sekali aja. Aku mohon." Aiden berujar lirih. "Ada hal penting—"

"Saya sibuk," potong Ana cepat.

"Tapi, Bun, ini penting." Aiden hendak meraih tangan Ana, namun langsung ditolak begitu saja. "Aku bisa aja mati karena ini."

"Ya sudah, kalau begitu. Mati saja sana."

Aiden diam. Terhenyak saat mendengar penuturan Ana. Kedua kelopak matanya melebar, sebelum kemudian terpejam.

"Bunda ... benar-benar nggak peduli sama aku, ya?" Senyum sendu Aiden terbit. "Kalau begitu ... kenapa aku dibiarin hidup dulu? Kenapa—"

Tawa Ana terdengar, seolah mengejek ucapan Aiden. "Memangnya, saya pernah bilang kalau saya ingin kamu tetap hidup?"

Aiden tidak dapat bersuara lagi. Ia menunduk, melirik Ana yang berlalu dari hadapannya begitu saja. Tanpa peduli bahwa Aiden benar-benar membutuhkannya. Ia menghela napas panjang. Dadanya begitu sesak, hingga kemudian Aiden meluruh begitu saja.

"Seharusnya aku tahu, ya, Bun." Aiden menenggelamkan wajah di antara kedua lututnya. Kedua maniknya tampak berkaca-kaca, namun senyumnya tidak juga luntur. "Aku juga rasanya mau mati, Bun. Kalau aku coba akhirin hidup aku sendiri ... apa Bunda bakal senang?"

•••

Pada akhirnya, meski harus tertatih, Aiden beranjak ke rumah sakit seorang diri. Meski sempat berpikir untuk mengakhiri hidupnya sendiri, namun jauh di dalam lubuk hati, Aiden masih ingin hidup. Paling tidak, hingga ia dewasa dan dapat keluar dari rumah.

180 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang