Tampak menyedihkan dan tidak bergairah sama sekali adalah penampilan Aiden ketika sampai di kelas. Ia berhasil memanjat pagar belakang sekolah, meski baju dan celananya agak kotor karena tanah. Kedua telapak tangan Aiden tergores, hingga menimbulkan luka yang cukup perih. Tasnya disimpan di tukang nasi kuning langganan dan rencana akan diambil pada waktu istirahat. Beruntungnya pula, guru yang mengajar belum masuk ke kelas.
Wajah Aiden tampak masam. Senyum yang biasa tercetak jelas kini tidak lagi terlihat. Aura yang menguar justru membuat teman sekelas Aiden menjauh. Bahkan, hampir saja Devin, teman sebangkunya, hampir pindah ke kursi paling belakang, hendak meninggalkan Aiden yang tidak dapat diganggu.
Hanya saja, sebagai sahabat yang baik, Devin tahu tidak seharusnya ia pergi begitu saja. Oleh karena itu, Devin tetap duduk di sana. Sesekali melirik, takut laki-laki berusia lima belas di sebelahnya itu mengalami sesuatu-atau kemungkinan buruknya, kerasukan.
"Ngapain lo ngelirik gitu?" Pertanyaan Aiden yang kemudian terdengar lantas membuat Devin meringis. Suaranya bahkan lebih menyeramkan dibanding suara Bu Erna, guru Fisika mereka yang memiliki hobi mengadakan tes mendadak.
"Baju lo kotor. Tumben," jawab Devin asal. Suaranya dikecilkan, mencegah agar tidak terdengar oleh guru yang sedang mengajar. "Lo juga nggak ikut tadarus, 'kan, tadi?"
Aiden untuk sesaat berdecak pelan. Kedua netra yang awalnya menatap papan tulis, beralih pada jendela. "Gue terlambat. Terus pas mau ke tembok belakang malah jatuh," ucap Aiden pada akhirnya.
"Bunda lo nggak bangunin lagi?"
"Sejak kapan bunda gue peduli gue bangun atau nggak?"
Devin diam sejenak, kembali mengalihkan pandangan ke depan. Tidak berani menjawab sama sekali, meski tahu jawabannya. Ditambah, Devin tidak akan pernah mengerti dengan apa yang dialami oleh Aiden.
"Kata dokter kemarin gimana?" Pada akhirnya, Devin hanya mengalihkan pembicaraan.
"Nggak ada masalah apa-apa, cuma flu biasa," ujar Aiden kemudian. Ia meringis pelan, memindahkan pulpennya ke tangan kiri, lalu kembali menulis. "Katanya, cuma butuh istirahat. Kayaknya obat gue cuma antibiotik? Eh, atau parasetamol? Atau apalah itu, gue nggak paham obat sama sekali. Kemarin udah dijelasin, tapi lo tahu sendiri gue cuma bisa Fisika."
Devin melipat kedua lengannya di atas meja. Sejenak melirik, lalu kembali beralih. Helaan napasnya terdengar, selain karena kantuk, juga karena tidak percaya dengan jawaban tersebut.
"Lo tahu kalau lo bisa ngomong aja, 'kan?"
Aiden lantas menoleh dengan senyum yang kali ini terulas di bibir. Agak sedikit mengerikan karena perubahaan ekspresinya yang tiba-tiba. "Misalnya?"
"Ya, misal ... kenapa lo telat hari ini, padahal biasanya jadi tukang bukain pagar?"
"Gue niat nggak masuk lagi hari ini. Masih agak nggak enak badan. Semalam masih demam juga. Agak tinggi, sih, tapi aman," jawab Aiden pada akhirnya. Ia mengetukkan jemarinya di atas meja, kemudian bergumam pelan. "Kalau misal kakak gue nggak nelepon, mungkin gue nggak akan bangun ... kayaknya."
"Lo nggak bilang ke bunda lo, kalau semalam lo demam lagi?"
Aiden tertawa pelan. "Menurut lo, responnya bakal gimana?" Bukannya menjawab, ia malah balik bertanya.
"Siapa tahu lo mau ngasih tahu, buat sekali ini aja."
"Yah, mungkin gue bakal ngasih tahu kalau semuanya jadi buruk—"
"Jadi buruk? Emang, bakal seburuk pa flu lo?"
"Misal, sampai bikin gue mati." Aiden kembali tertawa. "Misalnya, loh. Bukan berarti gue mau mati beneran."
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?