katanya, bintang suatu hari nanti akan mati

4.6K 322 17
                                    

"Rencana kita gagal lagi. Maaf, ya."

Kamu mengalihkan pandanganmu dari langit biru yang terbentang di balik jendela. Berusaha mengulas senyum meski harus menghadap ke arah sosok yang berada di atas bed. Kepalamu menggeleng perlahan, menampilkan kesan bahwa kamu baik-baik saja.

Lagipula, kamu tahu bahwa itu semua bukan kesalahan Aiden, 'kan?

"Nggak masalah," jawabmu singkat. Kakimu kemudian melangkah, mendekat. Duduk di sisi bed yang masih kosong. "Lagian juga, hari ini lo yang ulang tahun, bukan gue. Seharusnya, gue yang minta maaf karena gue ke sini nggak bawa apa-apa."

Netramu saling bersitatap dengan milik Aiden, membuatmu lantas tenggelam ke iris cokelat jernihnya. Meski sudah lama mengenalnya, nyatanya kamu masih tidak dapat membaca ekspresi tersirat yang terpancar di balik binar indahnya. Tanganmu kemudian terangkat, menepuk puncak kepala Aiden dengan lembut.

"Puk, puk. Tahun depan kita jalan-jalan, ya."

Bagimu, ucapanmu terdengar biasa, tapi kamu tahu hal tersebut berbeda bagi Aiden. Oleh karena itu, ketika melihat senyum Aiden yang luntur, kamu sadar bahwa kamu sudah salah bicara. Tidak serta-merta, senyummu luntur begitu saja.

"Tahun depan?" Suara Aiden terdengar lirih. Dia mengalihkan pandangan. "Kalau tahun depan gue masih bisa ngerayain ulang tahun, lo masih mau jalan-jalan sama gue?"

"Kenapa nggak?" Kamu tertawa pelan. Pertanyaan itu terdengar begitu lucu di telingamu. "Lo bebas pilih ke mana pun lo mau."

"Ke mana pun itu?" Aiden mengulang ucapanmu.

"Iya, ke mana aja. Terserah lo."

"Sama lo?"

"Menurut lo, sama siapa lagi?"

Aiden diam sejenak. Tampak mengerjap beberapa kali sebelum kembali menatapmu intens. Senyum jahilnya terbit.

"Oke." Aiden meraih ponselmu yang tergeletak di atas nakas. Entah apa yang dia lakukan, kamu tidak bisa menebaknya. Hingga tak lama, jemarinya berhenti bergerak. Menunjukkan layar ponsel ke hadapan wajahmu. "Tanggal 22 Januari tahun depan, gue udah tandain di kalender. Biar lo nggak lupa."

Kamu tertawa pelan, merebut kembali ponselmu. "Mana mungkin gue bakal lupa, Den," ucapmu.

"Ya, gue takut lo lupa. Soalnya, keluarga gue aja selalu lupa sama ulang tahun gue. Atau emang nggak mau ingat, sih." Suara Aiden mengecil di akhir kalimat, membuatmu sedikit memajukan tubuh.

"Kalau keluarga lo lupa, 'kan ada gue yang nggak bakal lupa." Kamu mengusap lengan Aiden perlahan. Dingin menjalar ketika kamu menyentuh permukaan kulitnya, membuatmu untuk sejenak mengernyit. "Tenang aja. Mau itu selamanya, gue nggak akan pernah lupa."

Aiden tampak menghela napas. Dia mengubah posisi tubuh, hingga kedua kakinya menggantung di sisi bed.

"Lo tahu, selain bisa lihat langit setiap harinya, hal yang selalu gue syukuri itu keberadaan lo." Entah kenapa, Aiden tiba-tiba berbicara seperti itu. Dia menoleh, menatapmu dengan senyum lebarnya, meski tidak dapat menutupi wajahnya yang pucat. Jemari dingin Aiden kemudian meraih tanganmu, menggenggamnya erat.

"Gue senang banget karena gue bisa kenal sama lo. Gue senang karena gue suka sama lo."

"Lo ngomong apa, sih, Den? Lo demam lagi, ya?" Kamu menyentil kening Aiden lembut, membuatnya sedikit menjauhkan kepala. "Gue panggilin perawat, ya. Takutnya suhu lo tinggi lagi kayak semalam. Omongan lo udah ke mana-mana."

Aiden tampak mendengkus. Dia menarik tiang infus, kemudian bangkit. Tungkainya melangkah tanpa sandal menghampiri jendela.

"Kayaknya, Tuhan baik banget sama gue, ya. Orang tua gue emang nggak peduli sama gue. Kakak gue juga gitu-gitu aja, bilang mau datang, tapi nggak datang juga." Kekehan Aiden terdengar. Kamu tidak bisa melihat ekspresi wajah yang Aiden tampilkan, tapi kamu dapat mendengar kegetiran di suaranya.

"Sebagai gantinya, gue ketemu sama lo. Rasanya, hidup gue jadi menyenangkan."

Kamu mengerjap beberapa kali. Sejak kapan pula Aiden dapat berbicara seperti itu?!

"Den, kata gue, mending lo tidur. Omongan lo nggak kayak biasanya. Atau jangan-jangan, lo kesurupan penunggu rumah sakit?"

Suara tawa Aiden terdengar. Dia membalik tubuh, balik menatapmu. Wajahnya tampak memerah. Entah bagaimana ceritanya, kamu menganggap dia juga malu dengan ucapannya sendiri.

"Gue lagi ngomong serius."

Senyum Aiden tidak juga luntur, yang malah membuat kamu membuang pandangan. Senyumnya tampak begitu hangat, hingga membuat detak jantungmu menggila.

"Gue juga serius. Omongan lo ngaco banget."

"Efek lagi ulang tahun, mungkin?"

"Hubungannya apa?"

"Pacar lo, 'kan?"

"Pulang aja lah."

Kamu berdecak beberapa kali. Berminat mengambil tas dan segera pergi dari sana. Namun, suara Aiden lagi-lagi terdengar. Membuatmu mengurungkan niat.

"Gue udah enam belas hari ini. Harusnya, gue rayain hari ini bareng keluarga gue. Tapi, gue nggak masalah." Aiden diam. Mengganti cengiran jahilnya menjadi senyum tipis. "Hari ini tetap spesial, karena gue habisin bareng orang yang spesial juga. Kalau emang sampai gue mati nanti keluarga gue tetap nggak peduli sama gue, seenggaknya masih ada lo."

Kamu menunduk, tidak berani lagi menatap wajah Aiden yang tampak tenang.

"Karena lo orang yang berharga buat gue. Lo yang bisa bikin gue tetap merasa hidup. Makasih, ya. Gue sayang banget sama lo. Gue harap, mau bertahun-tahun, meski gue nggak ada nantinya ... lo nggak akan ngelupain gue."

•••

Den, lo benar. Bahkan, sampai tahun ke sembilan, gue nggak pernah bisa ngelupain lo sama sekali.

•special chapter•

A/n

Selamat tanggal 22 dan selamat ulang tahun ke (seharusnya) 25 buat aiden!

Masih agak nangis tiap kali harus inget-inget lagi gimana obrolan kita hari itu, tapi gak papa. Agak sedih karena sampai saat ini belum bisa datang ke rumahnya. Yah, ntar deh :"D

180 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang