bagian 10

8.3K 802 65
                                    

Begitu Rafka izin mengambil perlengakapan milik Aiden, laki-laki itu kini harus berada seorang diri di ruangan. Bed nomor dua kosong, sementara dirinya berada di samping jendela. Suara yang mengisi ruangan hanya dari televisi. Sengaja dinyalakan meski tidak Aiden simak, menampilkan gosip terbaru yang bahkan tidak penting sama sekali.

Suara klakson kendaraan di luar samar-samar terdengar, meski Aiden berada di lantai lima. Burung yang berterbangan lantas menarik perhatiannya. Membuat Aiden berpikir bahwa dapat terbang dengan bebas akan begitu menyenangkan, dibanding terkurung di tempat yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Helaan napas begitu berat terdengar. Aiden bahkan baru menginjak usia enam belas kemarin, tapi tubuhnya seolah berkata bahwa ia tidak menginginkan hidup ini lagi. Kedua netra cokelatnya tampak sendu, menampilkan kesedihan yang tidak dapat dimengerti oleh orang lain.

Bahkan, oleh sang kakak.

Rafka selalu berbicara seolah Aiden adalah dirinya. Seolah ... Aiden adalah anak yang diharapkan kehadirannya. Menganggap bahwa orang tuanya akan peduli padanya.

Nyatanya, Rafka tidak pernah bisa memahami semua itu. Ia tidak pernah berada di posisi yang sama seperti Aiden. Hidupnya mungkin lebih beruntung, hingga jika Aiden diberi kesempatan untuk bertukar posisi, dengan senang hati ia akan menerimanya.

"Tapi, ya ...." Aiden menaikkan selimut hingga menutupi kepala, berusaha menghalau sinar matahari yang masuk ke dalam ruangan. Ia bergerak, mencari posisi yang lebih nyaman. "Kalau Kak Rafka yang harus ngalamin semua ini ... belum tentu bisa ngehadapin semuanya ... 'kan?"

•••

Rafka selalu membenci kondisi di mana ia harus kembali menginjakkan kaki di rumah yang dahulu ia tempati. Oleh karena itu, Rafka selalu membatalkan janjinya pada Aiden. Beralasan apapun, hingga pada akhirnya Rafka tidak harus pergi ke sana.

Kenangan yang berada di setiap sudut rumah membuat kesedihan menyeruak memasuki perasaan Rafka. Ia masih ingat betul bagaimana hangatnya keluarga. Meski ketika Aiden hadir, sedikit demi sedikit kehangatan itu memudar.

Rahasia yang selama ini disembunyikan oleh sang bunda. Tentang apa yang sudah ia lakukan. Hingga kehadiran Aiden yang merupakan hasil dari kesalahannya. Retak kecil yang kemudian menjadi kehancuran. Rafka harus merelakan dirinya berpisah dengan sang bunda, mengikuti ayah yang memilihnya. Merasakan keluarga baru, yang tidak sehangat sebelumnya.

Langkah yang terkesan berat. Napas yang kemudian tercekat. Kesedihan yang tidak ingin Rafka rasakan lagi, hingga membuatnya memilih untuk secara semu terpejam. Memastikan bahwa pandangan Rafka hanya tertuju ke depan. Tidak berani ia menoleh, mencoba agar kenangan itu tidak kembali terputar.

Tangan Rafka yang dingin meraih kenop pintu kamar Aiden. Membukanya lebar-lebar, hingga ia dapat melihat seisi ruangan. Tidak ada yang spesial, hanya ruangan sederhana yang cukup membuat nyaman.

Kedua kaki Rafka melangkah memasuki kamar. Kepalanya ditolehkan ke kanan dan ke kiri. Memperhatikan setiap sudut kamar. Mencoba untuk memosisikan diri sebagai sang adik.

Hingga kemudian, pandangan Rafka berhenti pada map cokelat yang tergeletak di atas meja belajar. Jumlahnya ada beberapa, namun seluruhnya memiliki kesamaan; nama instansi rumah sakit, nama sang adik, nomor rekam medik, serta tanggal lahirnya tertera di sana. Membuat Rafka meyakini diri bahwa berkas itu memang milik Aiden.

"Kak, gue sebenernya punya satu rahasia, tapi gue nggak berani ngomong sama sekali. Soalnya ... rasanya berat banget. Gue aja masih nggak percaya sampai sekarang."

180 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang