Aiden tidak pernah ingat kapan terakhir kali ia menjejakkan kaki di rumah megah tersebut. Seingatnya, hampir tidak pernah seumur hidup. Hanya saja, untuk pertama kalinya, Aiden memberanikan diri.
Panggilan yang tidak juga dijawab membuat Aiden masih terus mematung di depan pagar. Tidak berani memencet bel, apalagi berteriak memanggil nama Rafka dengan hebohnya. Ia berjinjit, berusaha mengintip dari celah pagar yang sedikit terbuka.
Tidak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali.
Tidak mungkin, 'kan, mereka tiba-tiba pindah rumah?
Ya, mungkin aja, sih ....
"Ngapain lo di sini?"
Aiden berhenti berjinjit. Membalik tubuhnya seraya menetralkan ekspresi. Kedua tangannya saling bersentuhan. Lalu, sebisa mungkin Aiden menyunggingkan senyum.
"Hai, Kak," sapanya singkat.
Rafka diam sejenak. Melipat kedua lengannya di depan dada. Tidak sedikit pun membalas sapaan Aiden, namun kedua manik matanya menunjukkan rasa cemas yang besar.
"Gue khawatir sama lo, soalnya lo nggak pernah jawab telepon gue. Makanya itu ...." Aiden mengusap area belakang lehernya canggung. Tidak pernah menyangka akan merasa begitu tidak nyaman di hadapan Rafka. Ia menunduk sejenak. "Gue datang ke rumah lo buat tahu keadaan lo. Gue senang karena lo baik-baik aja."
"Rumah gue di sebelah, bukan di sini," balas Rafka.
Wajah Aiden tampak memerah. Awalnya hendak menatap Rafka, namun ia mengurungkan niat. Tidak dapat Aiden menahan senyum lebih lebar lagi. Merasa beruntung karena Rafka lewat dan menyapanya. Jika sang kakak tidak peduli, ia mungkin akan dianggap sebagai orang yang mencurigakan.
"Mau apa lo ke sini?" Rafka sekali lagi bertanya. "Lo masih pake seragam. Lo belum pulang ke rumah?"
Aiden tahu masih ada rasa kepedulian pada diri Rafka. Kepala yang mengangguk cepat menjadi jawaban.
"Seharusnya lo istirahat," lanjut Rafka. "Gue selalu ngomong gitu, bukan?"
"Sebulan ini nggak," jawab Aiden. Ia diam sejenak, menarik napas panjang. "Gue nggak apa-apa. Justru, gue khawatir sama lo. Gue pikir lo kenapa-napa. Atau ... lo masih marah sama gue?"
Rafka mundur selangkah. Maniknya memperhatikan Aiden dari atas ke bawah dan sebaliknya. Rautnya penuh dengan ketidakpercayaan.
Tidak apa-apa dari mananya?
"Gue nggak marah sama lo," jawab Rafka pada akhirnya. "Gue cuma ... agak sedikit kecewa."
"Ucapan gue berlebihan, ya?"
Rafka menghela napas panjang. Meraih kunci motor yang ada di saku jaket sang adik. Dengan cekatan memindahkan motor tersebut ke depan rumah. Tak lama, menarik tangan Aiden agar segera pergi dari rumah tetangganya.
"Gue yakin kalau gue nanya gimana pengobatan lo sekarang, jawaban lo pasti bikin gue makin kecewa." Rafka berucap. "Di rumah gue lagi nggak ada orang. Lo belum makan, 'kan? Gue masakin."
Perlahan, Aiden mengikuti langkah Rafka. Kedua tangan saling tertaut. Kepala menunduk memperhatikan sepatunya yang mulai kotor. Rasa takut mulai menghampiri Aiden.
Semoga ayah tirinya tidak pulang tiba-tiba.
"Soal pengobatan gue ...."
Rafka berhenti memutar anak kunci. Tanpa membalik tubuh, ia diam menunggu ucapan Aiden. Hingga sepuluh detik, adiknya itu tidak juga berbicara. Jadi, ia berkata, "Nggak lo jalanin. Iya, 'kan?"
Aiden sedikit terkejut. Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia mengangguk pelan sebagai jawaban.
"Lo tahu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?