Rafka pernah berada di satu titik terendahnya. Tepat ketika ia mendapati sang adik tidak lagi bernyawa. Dekapannya pada Ana bahkan seolah tanpa emosi. Rafka tidak dapat berekspresi lebih jauh, selain percaya bahwa apa yang dialami saat ini hanyalah mimpi belaka.
Apa yang ada di hadapan Rafka seperti berlalu begitu saja. Kepalanya pening. Kedua kaki Rafka seolah melemah. Telinga yang berdenging kemudian mendengar ucapan yang tidak pernah mau didengar; waktu kematian Aiden.
Rasa sakit yang perlahan menusuk dada, Rafka tidak mampu lagi menahan emosinya. Air mata yang lalu secara semena-mena mengalir membasahi pipi. Hidung Rafka tampak memerah, hingga tanpa sadar ia menunduk, membiarkan setetesnya membasahi punggung tangan.
Rafka tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan.
Kehilangan seorang adik mungkin menjadi salah satu hal buruk yang tidak pernah Rafka pikirkan. Rasa takut, kehilangan yang begitu besar. Bagaimana separuh hidupnya seolah diambil begitu saja.
Rafka hanya ingin Aiden tetap bertahan, sampai ia dapat menepati janjinya.
Bahkan, setelah pemakaman, Rafka tidak juga bisa beranjak. Kedua netranya memperhatikan nisan kayu. Nama Aiden tertulis di sana. Masih seperti mimpi, Rafka membacanya.
Nggak mungkin, batin Rafka menolak.
Nggak mungkin.
Nggak mungkin.
Nggak mungkin!
Rafka tidak dapat menahan kemarahannya. Bertahun-tahun tentu tidak dapat digantikan dalam waktu beberapa bulan. Apa yang Rafka lakukan beberapa bulan ke belakang ini ... tentu tidak dapat mengganti kesalahannya di masa lalu.
Rasa sesal yang teramat kuat menekan dada Rafka. Membuatnya merasa sesak, hingga ketika menarik napas, duri seolah menusuk paru-paru. Rafka tidak lagi bersuara, isakan Ana terdengar mendominasi.
Hingga kemudian, Rafka terduduk sendiri di kamar Aiden. Merasakan sepi yang selama bertahun-tahun adiknya itu rasakan. Aroma khas yang masih tercium jelas lantas membuat Rafka tidak dapat lagi bernapas.
Rafka membaringkan tubuh, menatap langit-langit kamar.
Jika ... ada satu kali lagi kesempatan, Rafka yakin, ia tidak akan menyia-nyiakan lagi kesempatan itu.
•••
Lalu, satu tepukan kasar terasa di pundak Rafka. Perlahan, Rafka mengerjap, merasakan kepalanya yang pening. Ia menyipit setelahnya, berusaha memfokuskan pandangan.
"Kak? Lo baik-baik aja?" Satu pertanyaan terdengar di telinga Rafka.
Suara seseorang yang telah hilang dari hidupnya.
"Lo kenapa nangis? Lo mimpi buruk?" Rautnya tampak khawatir.
"Aiden?"
"Iya, Kak?"
"Lo masih hidup?"
Aiden mengerjap beberapa kali, terkejut dengan pertanyaan Rafka. Lalu, tawanya terbit. Pertanyaan dan raut wajah Rafka tampak begitu lucu di matanya.
"Kak, lo kenapa, sih? Gue masih hidup." Aiden berdeham pelan, bibirnya mengulas senyum. "Hari ini hari terakhir gue check up. Setelahnya, gue cuma ada check up tahunan. Semoga itu penyakit nggak muncul lagi, deh. Tapi, lo malah nanya gue masih hidup atau nggak?!"
Lalu, Rafka menyadari satu hal; Tuhan memberikannya satu kesempatan kembali.
•what if - end•
A/n
A/n
What if-nya, kakak :D mending baca ini aja daripada ending asli dan extra keto wkwkwkwk
Spesial 200k views :)
Sekalian promosi
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?