"Den, masakan lo enak banget. Keren juga lo. Gue kira, lo cuma bisa Fisika sama main piano."
"Seharusnya, kita yang bawain makanan nggak, sih? Masa, jadi disuruh makan banyak gini?"
"Sering-sering, deh, lo masak. Lumayan makan enak."
Aiden tersenyum tipis. Melipat kedua lengan di atas meja dengan netra memperhatikan masing-masing individu yang duduk di kursi. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, meja makan kembali penuh.
Selama ini lebih sering sendiri, nyatanya Aiden tidak menyukainya. Ia bukan seseorang yang senang duduk dan berbicara dengan dirinya sendiri. Kalau bisa, sih, seharusnya keluarganya yang ada di sana. Bukan teman-teman yang bersedia datang karena diiming-imingi dengan makanan.
"Gue nggak ulang tahun setiap hari, jadi, habisin aja." Aiden berucap. Ia melipat kedua lengannya di atas meja. "Enak, 'kan? Iya, dong. Setelah bertahun-tahun masak buat diri sendiri, akhirnya ada orang lain yang makan juga."
Tidak ada yang membalas. Masing-masing saling tatap, kemudian beralih pada makanannya. Meski begitu, senyum Aiden tidak juga luntur.
"Ngomong-ngomong, bunda lo pulang jam berapa?" Kali ini, Devin yang berbicara. Meski sejak tadi hanya diam, memperhatikan aktivitas yang lain dengan piring makanan di hadapannya.
"Biasanya malam, sih. Di atas jam sembilan," balas Aiden. "Aman lah. Lagian juga, bunda gue jarang ke dapur. Biasanya, kalau sampai rumah, dia cuma di kamar. Paling jauh ke ruang keluar-maksud gue, ruang santai."
"Sebentar lagi jam sembilan, apa kita harus pulang?" tanya Argha. "Gue ngeri orang tua lo ngamuk."
Aiden lantas tertawa. Nyatanya, selama ini sang bunda tidak pernah marah padanya. Tetapi, bukan berarti Ana benar-benar peduli padanya. Meski begitu pula, setidaknya, selama ini Aiden dibiarkan hidup. Dipenuhi kebutuhannya secara materi. Seolah, Ana masih memiliki sedikit tanggung jawab, setelah membawanya ke dunia.
"Santai. Bunda gue nggak pernah ngamuk, kok, selama ini," ujar Aiden. Ia mengusap hidungnya sesaat, merasa tidak nyaman dengan obrolan yang ada. Masalahnya, tidak semua temannya tahu masalah keluarga yang Aiden miliki.
"Enak, ya, nggak pernah diomelin," celetuk Chiko yang duduk tepat di hadapan Aiden. "Lo anak kesayangan, ya?"
"Chik, nggak semuanya harus lo tanyain, 'kan?" Bukan Aiden yang berbicara, melainkan Devin. Ia berdeham dan meletakkan sendok yang sudah selesai digunakannya di atas piring. "Lagian juga, nggak penting, 'kan, nanya masalah itu?"
"Santai, Vin. Gue nggak masalah, kok." Senyuman lebar Aiden tampak, hingga kedua kelopak matanya membentuk bulan sabit. Kedua tangannya saling menggenggam. "Gue emang anak kesayangan, kok. Makanya nggak pernah kena marah. Apa yang gue butuhin juga selalu dipenuhin. Omongan lo nggak salah, Chik. Cuma, ya ...."
Helaan napas Aiden terbit. Ia memundurkan kursi, sebelum beranjak dari duduknya. "Gue tinggal sebentar, ya." Tangan Aiden meraih ponsel yang sedari tadi bergetar di saku celananya. Ia mengerling. "Ada panggilan negara."
•••
"Gue tahu gue ngangenin, tapi gue lagi sama temen gue, Kak. Jangan neleponin mulu," ucap Aiden begitu ia duduk di sofa ruang keluarga. Senyum tidak juga luntur dari bibirnya. Kedua netra cokelatnya menatap ke arah piano, seolah sedang menyaksikan kenangan yang tersisa di sana.
"Siapa pula yang kangen sama lo." Decakan terdengar beberapa kali. "Gue cuma mau bilang, bunda katanya bakal pulang lebih malam. Ada kerjaan yang belum selesai."
Alis Aiden tertaut heran. "Cuma karena itu lo nelepon gue? Kenapa, sih, bunda kebiasaan jadiin lo penghubung? Nggak mau ngomong langsung sama gue atau gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?