bagian 11

7.4K 682 25
                                    

Aiden benci sendirian. Ia tidak suka hanya berada di satu ruangan, hanya dirinya sendiri, tanpa berbagi oksigen dengan orang lain. Sebisa mungkin, menahan diri untuk tidak berbicara sendiri.

Namun, untuk pertama kalinya, Aiden hanya ingin sendiri. Tanpa peduli dengan Rafka yang harus menempuh jarak cukup jauh untuk menghampiri dirinya, ia mengusirnya. Menyuruh sang kakak untuk kembali. Hingga kemudian, menyisakan Aiden yang berbaring sendiri, menatap ke arah langit-langit kamar. Sedikit rasa menyesal karena tidak memedulikan perhatian Rafka, tapi Aiden tidak peduli sama sekali.

Ponsel yang sedari tadi bergetar tidak Aiden acuhkan. Nama Rafka berkali-kali muncul. Hingga tidak lama, kakaknya itu seolah menyerah. Tidak ada lagi pesan atau panggilan masuk.

"Semisal ada reaksi alergi, entah itu gatal, demam, menggigil, atau kemerahan, bisa langsung pencet bel, ya."

Aiden tidak terlalu memperhatikan, namun ia tetap mengangguk. Kedua netranya melirik ke arah tiang infus yang berada di sebelah kiri. Kantung darah yang akan masuk ke dalam tubuhnya tergantung di sana. Entah milik siapa, hingga membuat Aiden sedikit merinding.

"Kakak sendirian aja? Nggak ada keluarga yang nungguin?"

Pertanyaan itu kemudian membuat Aiden mengerjap beberapa kali. Senyum lantas terbit di bibir pucatnya yang tampak kering. Ia menggeleng pelan, kemudian menjawab, "Nggak ada, Kak. Saya nggak punya keluarga."

•••

Nyatanya, meski Aiden mengusir, Rafka tidak benar-benar pergi. Ia duduk di depan meja pendaftaran, memegang tas tenteng berisi kue ulang tahun yang niatnya akan diberikan kemarin. Sayang, Rafka tidak dapat datang, hingga rencana itu tertunda begitu saja.

Namun, hari ini, ketika Rafka bertemu dengan Aiden—bahkan setelah bertahun-tahun lamanya—pertemuan mereka justru tidak berjalan dengan baik. Dengan emosi masing-masing yang memenuhi perasaan, meski harus Rafka akui, kesalahan terbesar ada pada dirinya. Aiden mungkin sudah menahannya sejak lama, hingga tidak tertahan lagi begitu mendengar ucapan Rafka yang seperti memojokkannya dengan omelan.

Panggilan sedari tadi tidak dijawab. Meski seharusnya Rafka menemuinya secara langsung. Meminta maaf dengan apa yang sudah ia lakukan selama ini. Hanya saja, Rafka takut kehadirannya justru mengganggu sang adik.

Decakan Rafka terbit begitu saja. Ia pada akhirnya memilih bangkit dari kursi panjang. Menyiapkan diri jika Aiden belum mau menerima dirinya, kedua tungkai Rafka melangkah.

Untuk kali ini, mungkin ganti Rafka yang harus berusaha.

•••

Ketukan di pintu lantas membuat Aiden menoleh. Sejak tadi, ia menutupi kepalanya dengan selimut. Berusaha untuk mengalihkan atensi dari dingin dan sunyinya ruangan. Merasa agak takut karena kondisi kamar yang hanya ditempati oleh dirinya sendiri.

"Siapa pula malam-malam begini?" Aiden bergumam pelan. Ia menurunkan selimut. Agak heran karena seingatnya tidak ada tamu yang akan datang.

Tidak sampai sepuluh detik kemudian, pintu terbuka. Aiden yang awalnya menguap, langsung berhenti bergerak. Bibirnya kemudian dikatupkan, sebelum membuang pandangan.

Kenapa pula yang datang malam-malam begini harus Rafka?

"Den." Panggilan itu tidak Aiden acuhkan sedikit pun. Ia hanya menatap Rafka dari pantulan samar di kaca jendela. "Oh, lo lagi transfusi. Gimana sekarang? Udah enakan? Masih pusing? Lo udah makan—belum, ya?"

180 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang