Pertama kali seumur hidup Aiden, ia diantar oleh Ana ke sekolah. Wajar, sih, kondisinya belum mendukung untuk mengendarai kendaraan sendirian. Aiden juga tidak yakin motor kesayangannya itu sudah selesai diperbaiki. Ditambah, jarak yang lumayan jauh dan jarangnya kendaraan umum membuat Ana mau tidak mau mengantar Aiden.
Sebenarnya, dari apa yang Aiden lihat, tidak tampak keterpaksaan di wajah Ana. Justru, raut terkejut yang tergambar jelas di wajah Aiden saat tiba-tiba bundanya itu menawarkan diri untuk mengantar ke sekolah. Jelas, sebelumnya, mana pernah Ana peduli?
Bahkan, sempat sekali Aiden harus mengendarai motor ke rumah sakit dengan hemoglobin yang rendah.
Maka dari itu, Aiden tidak menyia-nyiakan kesempatan sama sekali. Tanpa pikir panjang, ia menerima tawaran Ana. Ditambah, dengan cepat Aiden melesat masuk ke dalam mobil. Duduk di samping kursi pengemudi dengan tenang.
Hanya saja ... rasa canggung tetap menguasai.
Ana mungkin tidak lagi menatapnya dengan tajam. Tidak lagi berbicara ketus padanya. Tetapi, tetap, tidak akan ada pembicaraan jika Aiden tidak memulai.
Aiden sebenarnya tidak masalah, namun terkadang ia tidak tahu harus berbicara apa pada Ana. Takut salah bicara, oleh karena itu pada akhirnya Aiden memilih untuk diam. Kedua netranya sesekali melirik sang bunda, tersenyum tipis dan merasa dirinya berada di alam mimpi.
"Hari ini aku ulangan Sejarah," ucap Aiden tiba-tiba ketika ingat bahwa hari pertamanya masuk sekolah setelah seminggu lebih absen, justru diawali dengan ulangan harian. "Lisan. Padahal aku belum belajar sama sekali."
Aiden terkikik geli, meski tidak ada hal yang lucu sedikit pun.
"Bunda tahu, nggak? Aku paling nggak bisa Sejarah. Biasanya, aku suka kabur ke warung belakang sekolah kalau ada ulangan lisan begini," lanjut Aiden. Ia tidak peduli apa Ana menyimak atau tidak. Setidaknya, suasana di antara keduanya mencair.
"Oh, ya?" Ana merespon singkat.
"Iya! Sampai-sampai, kata teman aku, guru Sejarah itu musuh besar aku. Katanya, aku sering diomongin di kelas lain gara-gara suka kabur." Suara Aiden terdengar semangat, meski respon yang ia harapkan tidak sesuai. Namun, Aiden tahu bahwa Ana mendengarkan.
"Kalau sama guru Fisika, aku sering dicariin kalau nggak masuk. Emang, sih, cuma Fisika yang bisa aku kerjain." Aiden kembali berucap. "Kalau Bunda, dulu suka pelajaran apa? Fisika juga, bukan? Atau Sejarah kayak Kak Rafka? Dih, aneh banget yang suka sejarah. Pantas aja Kak Rafka susah move on."
"Saya?" Ana diam sejenak. Ia melirik Aiden, sebelum kembali beralih pada jalanan di hadapannya. "Matematika."
Aiden bersorak. Selain Sejarah, salah satu pelajaran yang paling dibencinya adalah Matematika. Bisa dibilang, karena guru yang hobi memanggilnya mengerjakan soal, dan membuat Aiden harus beralih dari permainan di ponselnya.
"Bunda sama anehnya kayak Kak Rafka, nih!" seru Aiden kemudian. Ia kemudian menghela napas panjang. "Bun, kalau aku ujian kenaikan kelas nanti, ajarin aku Matematika, ya. Biar aku bisa jadi juara kelas. Bunda pasti bakal bangga sama aku kalau aku bisa juara."
"Olimpiade kamu ... gimana?"
"Oh, ya. Aku juga bakal menang nanti." Aiden tersenyum lebar. "Pokoknya, mau itu soal ujian kenaikan kelas, olimpiade, atau soal hidup aku, aku bakal selalu menang. Bunda yakin juga soal itu, 'kan?"
"Ya, saya juga yakin soal itu. Kamu pasti bisa menang."
Ana berusaha tersenyum yang langsung menarik perhatian Aiden. Kedua kelopak matanya melebar, tidak percaya dengan apa yang netranya tangkap. Binar terlihat di sana, mengagumi kehangatan yang terpancar begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?