bagian 30

6.2K 611 51
                                    

"Gue nggak mau lagi," keluh Aiden. Suaranya terdengar lemas. Ia membaringkan tubuh tanpa bantal dengan posisi miring. Membelakangi Rafka yang sedari tadi mengusap punggung Aiden dengan lembut. "Udah, ya, Kak. Sekali ini aja. Gue nggak tahan banget. Nggak enak."

Sesuai dengan omongan perawat yang bertugas. Beberapa efek samping mungkin akan muncul. Ada beberapa hal yang dapat Aiden lakukan, namun, tidak ada yang membantu untuk mengurangi gejala.

Katanya, efek samping itu berbeda tiap orangnya, tetapi kenapa rasanya Aiden mengalami hal yang cukup berat?

"Mana ada kayak infusan biasa?" Aiden lanjut mengomel. Hampir melupakan mual yang sejak tadi menyiksa. Ia sudah beberapa kali memuntahkan isi perutnya, hingga tidak tahu apa lagi yang harus dikeluarkan.

"Sakit banget, ya?" Rafka bertanya setelah sekian lama diam.

"Gue nggak bisa bilang rasanya sakit. Apa, ya? Nggak nyaman banget rasanya. Badan gue lemas banget," balas Aiden. Ia tidak sekalipun mengubah posisi. Rasanya, ketika bergerak, rasa mual yang Aiden rasakan semakin memberat. "Nggak usah lagi, ya, Kak. Sekali ini aja."

"Nggak, Den. Lo pasti bisa." Rafka berusaha untuk memberikan semangat, meski tahu hal itu tidak akan berguna. Kepala sang adik menggeleng perlahan. Jauh di dalam lubuk hati Rafka, ia juga tidak ingin melihat Aiden tersiksa seperti itu.

Namun ... apapun demi kesembuhan, bukan?

"Kak." Suara Aiden terdengar serak. Ia kemudian membalik badan hingga keduanya dapat bersitatap. Kedua manik mata Aiden tampak berair. Wajahnya tampak lebih lesu daripada biasanya.

"Kenapa lo di sini terus? Lo nggak kuliah?" Aiden berusaha mengalihkan pembicaraan. "Pulang, Kak. Keluarga lo pasti khawatir. Lo udah berhari-hari di sini. Kurang istirahat gara-gara begadang ngerjain tugas, pula. Ditambah, harus ngurus gue."

Rafka diam sejenak. Sejujurnya, ia juga lelah. Setiap hari menghirup aroma disinfektan, belum lagi mendengar pengumuman ada yang mengalami kegawatdaruratan jantung. Pasien sebelah yang diperbolehkan pulang, ternyata mampu membuat Rafka mempertanyakan kondisi Aiden.

Apa adiknya itu bisa kembali sehat seperti semula?

"Lo tenang aja," balas Rafka. "Gue ada jatah bolos. Terus juga, mata kuliah yang gue ambil udah nggak begitu banyak. Gue pasti kuliah kalau emang ada kelas."

Aiden memandang Rafka skeptis. Takut jika ternyata kakaknya itu sudah mengundurkan diri dari kampus. Semua yang disebutkannya hanya alasan belaka, padahal sudah tidak berkuliah.

"Lo harus istirahat, Kak. Jalan-jalan di taman, makan es krim, atau makan bakso. Apapun itu, yang bisa bikin lo segar lagi," perintah Aiden. "Muka lo kelihatan pucat. Gue nggak mau lo sakit karena gue. Cukup gue aja yang ngerasain sakit kayak gini. Lo jangan."

"Iya, tenang aja. Gue, 'kan, kuat." Rafka tersenyum simpul. Mengacak rambut Aiden dengan lembut. Takut-takut artikel yang ada di internet benar; kemoterapi dapat menyebabkan folikel rambut rusak, sehingga berujung pada kerontokan.

"Oh, ya. Den, kalau misal nanti lo botak, gimana?"

Wajah Aiden berubah ngeri. Ia bahkan tidak pernah membayangkan dirinya memiliki rambut tipis, apalagi tidak memiliki rambut sama sekali. Padahal, rambut kecokelatannya yang lembut itu merupakan salah satu aset berharga yang Aiden miliki.

Aiden lantas menggeleng cepat. Berharap agar hal itu tidak terjadi, namun rasanya tidak mungkin. Kemoterapi adalah salah satu metode pengobatan yang sedikit ... aneh menurutnya. Karena obat-obatan yang masuk ke tubuh juga ikut melawan sel sehat, bukan hanya sel kanker. Hal itu juga menjadi salah satu pertimbangan Aiden sebelum akhirnya menerima terapitersebut. Berharap efek samping tidak terlalu menakutkan, namun ternyata sejak awal sudah membuatnya ingin menyerah.

180 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang