Rafka sebenarnya tidak ingin meninggalkan Aiden ketika adiknya itu memutuskan untuk tidur. Katanya, rasa kantuk yang mulai menyerang dengan hebat membuat kedua kelopaknya memberat. Itu juga setelah Rafka meminta Aiden berjanji untuk tetap bangun nantinya.
Selain itu juga, keberadaan Devin yang berkata bahwa ia memang berniat menjenguk, membuat Rafka yakin bahwa Aiden akan baik-baik saja. Setidaknya, ada orang yang mengawasi. Ditambah, jika ada hal buruk terjadi, adiknya itu tidak sendirian. Walau tentu, Rafka tidak berharap itu terjadi.
Sejujurnya, Rafka sendiri juga merasa lelah. Ia belum beristirahat sejak pulang kuliah tadi. Rasa takut yang menguras energi. Ditambah dengan rasa lapar karena seharian ini tidak nafsu makan. Padahal, dirinya yang paling getol memaksa Aiden untuk tetap menelan sedikit makanan. Setidaknya, agar perutnya tetap terisi. Karena di keyakinan Rafka, lambung mampu mencerna dirinya sendiri.
Area lobi terasa begitu ramai, meski langit sudah gelap. Memang, di jam tujuh malam ini, ada jam jenguk terakhir. Rafka sendiri tidak pernah mengira bahwa ada banyak orang yang dirawat di rumah sakit ini.
Melewati beberapa orang yang masuk ke area gedung rumah sakit, langkah Rafka terhenti ketika melihat Ana berdiri di hadapannya. Di tangan Ana ada sebuket bunga. Senyumnya terulas tipis begitu ia mulai melangkah menghampiri Rafka yang masih terpaku di tempat.
"Bunda ...." Rafka yang pertama berbicara. "Mau apa ke sini?"
Ana meraih tangan Rafka dan menggenggamnya erat. "Bunda khawatir sama kamu. Kamu ... udah makan?" Ia balas bertanya.
"Bunda nggak usah khawatir sama aku," jawab Rafka. Ia menghempaskan tangan Ana begitu saja. Tatapan tajamnya menusuk. "Kalau Bunda cuma mau nanya gitu, ngapain Bunda ke sini? Pakai acara bawa-bawa bunga pula."
"Oh, ini. Bunda nggak sengaja lewat sini. Baru pulamg dari kantor. Kebetulan juga, Bunda lihat ada yang jual bunga." Ana menyodorkan buket bunga tersebut ke hadapan Rafka. "Tolong kasihin ... ke anak itu."
Rafka berdecak pelan. Ia dengan lembut mendorong bunga tersebut menjauh dari wajahnya. "Bahkan Bunda nggak nyebut namanya." Rafka tertawa lirih. "Kasih sendiri, Bun. Jangan bersikap kayak orang jahat gini. Ah, tapi, Bunda emang jahat, sih. Aiden lagi sakit keras aja masih digituin."
Ana menghela napas panjang. "Oke, Bunda yang kasih sendiri," ujar Ana pada akhirnya. "Tapi, kita makan dulu, ya. Muka kamu pucat. Kamu tahu sendiri kamu gampang sakit. Tapi malah nginep di rumah sakit gini."
Ana meraih tangan Rafka. Menggenggamnya erat, kemudiannya menariknya. Sementara laki-laki itu tidak mampu menolak. Tubuhnya terasa lemah dan butuh diistirahatkan. Jika memaksa, Rafka mungkin akan ambruk begitu saja.
"Kamu nggak pernah merhatiin diri kamu sendiri, ya?"
"Ada Aiden yang harus aku perhatiin saat ini."
"Tapi, badan kamu juga penting."
Rafka menggeleng pelan. Pada akhirnya mengikuti Ana memasuki kafe rumah sakit. Duduk di salah satu kursi, Rafka menelungkupkan kepalanya di atas meja.
"Bun, Bunda mungkin cuma punya waktu sedikit buat minta maaf ke Aiden." Rafka menghela napas panjang. "Aku udah bicara sama dokter. Seharusnya, treatment langsung dilakuin begitu diagnosis udah ditegakkan. Seenggaknya, angka harapan hidup sampai lima tahun ke depan bisa meningkat. Tapi ... nggak."
Ana duduk di hadapan Rafka, mendengarkan. Membuka-buka buku menu, namun kedua maniknya tetap ke arah Rafka. Ia tidak bersuara sama sekali.
"Dokter minta ketemu sama Bunda atau ayah, karena Aiden masih di bawah umur. Tapi, Bunda selalu sibuk, bukan? Ayah malah nggak mau jawab panggilan Aiden sama sekali." Rafka kembali melanjutkan. Ia mengangkat kepala, balas menatap Ana. "Bunda sebenernya ngelihat Aiden sebagai apa, sih? Kesalahan Bunda?"
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?