Aiden bosan setengah hidup.
Ia sudah melakukan semua hal yang bisa dilakukan. Mulai dari berpindah bed yang kosong, mengelap jendela yang berdebu, hingga yang paling jauh, iseng datang ke nurse station dan mengobrol dengan perawat yang sedang bertugas di sana.
Oleh karena itu, ketika Aiden diperbolehkan untuk pulang ke rumah, senyumnya mengembang lebar. Ia segera membersihkan tubuh dan berganti baju, setelah berhari-hari tidak mandi. Tidak lupa pula menyisir rambutnya yang rapuh hingga serapi mungkin. Aiden mungkin merasa sedih ketika bercermin, namun semuanya terlupakan karena dapat tidur di kasur empuk hari ini.
"Den, lo dandan, ya?" tanya Rafka heran. Ia memperhatikan Aiden yang sedang bercermin menggunakan kamera ponselnya. "Muka lo kelihatan lebih cerah."
"Oh, ya?" Aiden menurunkan ponselnya, menampilkan senyum lebar yang selama beberapa hari ini tidak terlihat. Meski kepalanya terasa sedikit pusing karena lebih sering berbaring, Aiden tetap bangkit, menghampiri jendela yang gordennya terbuka lebar. Sinar yang membias mengenai iris cokelat yang berbinar. Sepertinya benar, hal sederhana seperti dapat kembali ke rumah menjadi begitu spesial baginya.
"Gue kelihatan lebih ganteng, nggak, Kak?" Aiden balas bertanya.
"Dih." Rafka berdecak beberapa kali. Ia menggeleng setelah melipat kedua lengan di depan dada. Merasa geli karena pertanyaan sang adik, tapi di satu sisi Rafka merasa senang karena Aiden menjadi lebih semangat daripada kemarin.
"Gantengan juga gue," lanjut Rafka.
Aiden tidak membalas lagi. Ia hanya menatap langit dan jalanan yang padat di pagi hari ini. Tidak terasa sudah berminggu-minggu ia tidak merasakan aktivitas seperti orang lain di luar sana.
"Hari ini gue nggak bisa lama-lama, ya," ucap Rafka. Ia menyimpan ponsel di dalam saku jaketnya, setelah membaca pesan yang masuk. "Adek gue nungguin di rumah katanya."
"Iya, nggak apa-apa. Teman gue juga nanti mau main ke rumah," balas Aiden. Ia membalik tubuh dan bersandar di dinding. "Adek lo gimana kabarnya? Dia sempat masuk IGD, 'kan, kapan hari itu? Udah baikan?"
"Udah, kok. Nggak sampai dirawat juga," ujar Rafka. Ia bangkit ketika mendengar suara dari interkom. Panggilan untuk mengambil berkas dan obat-obatan pada akhirnya terdengar. "Gue ke ruang perawat dulu, ya. Lo siap-siap aja."
Aiden mengangguk cepat. Mengambil tas yang sudah rapi di atas bed. Meski kedua tangannya terasa ngilu karena beberapa kali ditusuk jarum, namun Aiden tidak terlalu memikirkannya. Lalu, ia duduk di sofa, menunggu Rafka dengan tidak sabar.
•••
"Welcome home, Aiden!" seru Aiden heboh ketika ia membuka pintu utama rumah. Dihirupnya aroma khas rumah yang pengharumnya diganti menjadi aroma kopi, entah sejak kapan.
Tidak ada aroma disinfektan yang dibencinya. Tidak ada suara musik instrumental yang membuat Aiden selalu mengantuk. Hanya ada kenyamanan yang dirindukan.
"Berisik," omel Rafka yang berdiri di belakang Aiden. Membawa beberapa tas yang berisi perlengkapan milik sang adik. "Orang baru balik dari rumah sakit tuh, tenang. Bukannya malah heboh begitu."
Aiden nyengir. "Bukan heboh, Kak. Tapi, semangat," balasnya. Kedua tungkainya berderap, namun bukan kamar yang menjadi tujuan, melainkan dapur.
"Lo masih bisa semangat setelah kemaren nggak bisa bangun gitu?"
"Iya, lah. Buat apa gue terus-terusan lemah begitu? Gue harus semangat biar bisa sembuh, Kak. Iya, 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?