Setelah menghabiskan kue yang dibawanya, Aiden kira Rafka akan pulang ke rumah. Seingatnya, sang kakak harus kuliah esok hari. Seingatnya pula, keluarganya pasti menunggu di rumah, tidak seperti Aiden yang keberadaannya tidak dipedulikan oleh sang bunda.
Aiden kira, setelah percakapan terakhirnya, Rafka akan pamit pulang. Nyatanya, laki-laki itu malah izin membaringkan kepala di atas bed dengan kedua lengan menjadi bantalan. Ia masih duduk di kursi dan berbicara—entah membicarakan apa, Aiden tidak menyimak. Hingga tak berapa lama, suara Rafka tidak terdengar lagi.
Saat Aiden melihat, kakaknya itu sudah terpejam. Tampak begitu tenang. Untung saja, embusan napasnya masih terasa begitu Aiden mendekatkan jemarinya ke hidung Rafka. Jika tidak, mungkin Aiden akan lebih panik dibanding saat ia menerima hasil pemeriksaannya tempo hari.
Kakaknya ini menyebalkan, sungguh. Dari sekian banyak orang yang Aiden benci, nama Rafka ada di urutan ke sekian. Kalau tidak ingat bahwa satu-satunya anggota keluarga yang peduli pada dirinya adalah Rafka, Aiden mungkin sudah memutuskan hubungan keduanya. Dan mungkin saja, malam ini ia akan berada di ruang rawat seorang diri.
Proses transfusinya sudah selesai sejak beberapa saat lalu. Cairan infus sudah diganti menjadi larutan NaCl 0,9 persen. Tidak ada reaksi alergi yang terjadi. Rasa ngeri akibat melihat darah seseorang tergantung di tiang infus dan perlahan memasuki pembuluh darahnya perlahan berkurang. Setidaknya, kini Aiden bisa bernapas lega.
Suara ketukan di pintu lantas membuat Aiden menoleh. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Apalagi ketika Aiden menyadari bahwa saat ini sudah pukul dua belas malam. Tidak seharusnya ada orang yang mengetuk pintu tengah malam begini.
Tanpa menunggu waktu, Aiden menurunkan posisi kepala hingga sejajar dengan tubuhnya. Ia menaikkan selimut, menutupi wajah. Suara yang terdengar kemudian hanya suara detik jam.
Bukannya memejamkan mata, rasa penasaran Aiden malah meningkat. Ia memutuskan untuk turun dari bed. Menarik tiang infus dan berjalan dengan perlahan agar tidak membangunkan Rafka. Kepala yang terasa pusing lantas membuat Aiden berhenti berjalan sejenak.
Suara pintu diketuk kembali terdengar dan Aiden kembali berjalan. Jemarinya sejenak berhenti pada gagang pintu. Berusaha memantapkan niat sebelum akhirnya membuka pintu.
"Hai, maaf ganggu malam-malam." Suara itu terdengar begitu pintu terbuka lebar. Sesosok laki-laki berdiri di hadapannya dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku jaket bergambar beruangnya. "Kirain udah tidur. Ternyata belum, yah. Kenapa?"
Kedua kelopak mata Aiden menyipit. "Siapa, ya?" Bukannya menjawab, Aiden malah balik bertanya.
"Ah, maaf, maaf. Bukannya ngenalin diri dulu, malah langsung nanya. Nggak sopan banget, ya?" Laki-laki di hadapannya itu menjulurkan tangan kanannya. Gelang berwarna biru terlihat di sana. "Gue Zello. Nama lo siapa? Lo keliahatan lebih muda dari gue."
Aiden tidak serta merta menjabat tangan laki-laki di hadapannya tersebut. Ia lebih dahulu melirik gelangnya, membaca tanggal lahir yang tertera di sana.
4 Januari 1998.
"Iya, saya lebih muda," ucap Aiden. "Setahun."
"Wah, kebetulan banget. Nggak usah terlalu kaku sama gue." Senyum sumringah Zello terbit. "Jarang banget gue ketemu orang seumuran gue di sini. Lo kenapa dirawat? Sakit apa? Lo nggak apa-apa? Muka lo pucat. Atau karena jam segini belum tidur? Oh, nama lo siapa? Coba lihat gelang lo."
Aiden mengangkat tangan kirinya, menunjukkan gelang biru yang tersemat di sana. Lamat-lamat, suara Zello terdengar, membaca nama yang tertera di sana.
"Aiden Khailan Nadhirrizky. Nama lo panjang banget. Nama gue aja cuma dua kata; Azello Narendra. Singkat, padat, agak nggak begitu jelas." Manik mata legamnya beberapa mengerjap, menatap Aiden dengan cengiran. "Wah, lo baru ulang tahun kemaren. Seru banget. Pasti, abis makan-makan. Selamat ulang tahun, ya! Gue bakal suruh semua pegawai di sini buat ngucapin."
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?