Setelah semua yang ia lewati, Rafka jadi takut dengan dinding rumah sakit. Hawa dingin yang menusuk, aroma khas yang lantas membuatnya muak. Seluruhnya membuat Rafka tidak ingin berlama-lama di sana.
Rafka merasa lelah. Tangannya bergetar hebat. Baru saja ia berpacu dengan waktu, mengendarai mobilnya secepat mungkin. Suara klakson terdengar bersahutan ketika Rafka menyalip secara serampangan. Ia sendiri tidak peduli dengan apa yang akan terjadi. Hanya ada sang adik di kepalanya.
Sorot kesedihan tampak jelas begitu Rafka menatap Aiden. Ia ingin duduk, menenangkan diri, namun kedua kakinya seolah terpaku. Tangan dingin Rafka memegang jemari sang adik. Begitu erat, seolah Rafka takut Aiden akan meninggalkannya jika genggaman itu terlepas.
"Adek ...." Panggilan lirih Rafka terdengar. Bukan pertama kalinya ia mengalami situasi seperti ini, tetapi rasa takut tetap menghantui. Tiap detik yang terlewati membuat Rafka merasa bahwa waktu yang ia miliki hanya tersisa sedikit.
"Kenapa? Lo baik-baik aja tadi." Pertanyaan tersebut keluar begitu saja dari bibir Rafka. "Lo kelihatan baik-baik aja tadi ...."
Aiden mungkin berusaha menutupi segalanya. Mengenai kondisinya, efek pengobatan yang menyerang tubuh. Senyuman yang terpatri membuat Rafka berpikir bahwa adiknya itu benar-benar baik-baik saja. Suaranya terdengar begitu menenangkan, meski beberapa kali ringisan terdengar.
"Lo seharusnya istirahat. Gue udah bilang, bukan? Kita pasti masih ada waktu nanti. Sekarang ... lo seharusnya istirahat." Rafka kembali berujar. Suaranya terdengar bergetar. "Sekarang ... lo cuma lagi istirahat, 'kan? Katanya, lo bakal baik-baik aja."
"Kakak ...." Suara Aiden lalu terdengar. Begitu lirih. Ketika kedua kelopak mata terbuka, ia melirik. Berusaha mengenali tempatnya berbaring saat ini. Hingga tak lama, langit-langit yang tidak asing menjadi jawaban.
"Makasih ... buat lagunya." Aiden tersenyum tipis. Ia balas menggenggam jemari Rafka. "Rekor gue dua minggu nggak masuk rumah sakit. Setelah ini, gue harus bisa mecahin rekor, dua bulan nggak dirawat di sini."
Mendengar ocehan Aiden lantas membuat Rafka menghela napas lega. Ia mengusap pipi dengan tangannya yang bebas.
"Gue ... kenapa? Seharusnya, gue tidur di rumah sekarang."
"Nggak usah banyak omong." Rafka tidak bisa menahan rasa bahagianya begitu mendengar suara Aiden. Untuk kesekian kalinya, adiknya itu berhasil kembali bertahan. Mungkin akan berkali-kali terulang kembali, namun Rafka yakin Aiden akan dapat melaluinya. "Gue senang karena lo masih hidup sekarang."
"Jangan ke mana-mana." Aiden meminta. Berharap dengan sangat. "Gue takut. Jangan tinggalin gue, ya."
Seharusnya ... gue yang bicara begitu, 'kan?
Gue juga takut.
Senyum Rafka tampak begitu menenangkan. Rautnya lelah, namun ia tidak terlalu peduli. Tubuh yang kemudian ia dudukkan di kursi kecil di samping bed membuat Rafka menyadari bahwa kedua kakinya sudah berontak ingin diistirahatkan.
"Bunda ... bunda ada di sini juga?" tanya Aiden. Kedua netranya melirik ke sekitar. Sayang, pandangannya terhalang oleh gorden hijau.
Kepala Rafka menggeleng pelan. Sorot netranya tampak kecewa. Tetapi, ia tahu, Aiden pasti merasakan hal tersebut juga, bahkan lebih parah lagi.
"Maaf, ya. Gue nggak bisa maksa bunda buat ikut," ucap Rafka lirih. "Gue udah minta, cuma ... begitu."
Aiden merasa sesak hingga rasanya bantuan oksigen tidak cukup berguna. Meski begitu, ia berusaha menyunggingkan senyum. Toh, Aiden sudah terbiasa, 'kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?