bagian 21

5.7K 595 17
                                    

Berdiri di depan cermin, Aiden merapikan dasi yang dikenakannya. Sudah pukul 05.30, jadi ia harus segera bersiap-siap, tepat setelah selesai memasak makanan untuk hari ini.

Setelah menyisir surai dengan jemarinya, Aiden langsung beralih pada tas yang tergeletak di atas kasur. Beruntung, tidak ada hewan yang masuk ke sana. Bahkan setelah dibiarkan terbuka selama berminggu-minggu. Buku-buku untuk hari ini, serta tambahan obat-obatan yang harus dikonsumsi, semua sudah dimasukkan ke dalam tas.

Dengan semangat yang menggebu-gebu, Aiden berjalan menuruni tangga. Hampir tidak sengaja terpeleset, namun ia mampu menahan bobot tubuhnya sendiri hingga tidak terjatuh. Senyum yang lebar seolah tidak ada hari esok terlukis di wajah saat ia memasuki area ruang makan.

"Bunda, hari ini aku ada ulangan Fisika. Doain semoga nilai aku seratus lagi, ya! Soalnya, udah lama nggak bepajar, sih," ucap Aiden seraya mengambil kotak makan miliknya yang tergeletak di atas meja. "Bunda hati-hati di jalan. Nanti, aku kabarin kalau aku udah sampai sekolah."

Tidak ada balasan sama sekali, namun senyum Aiden tidak juga luntur. Ia meraih tangan Ana dan menyaliminya.

"Bye-bye, Bun. Aku berangkat dulu, ya!" Kemudian, Aiden berlalu begitu saja, meninggalkan Ana yang tidak peduli sama sekali. Meski begitu, wanita tersebut tetap melirik, menatap kepergian Aiden secara diam-diam melalui sudut matanya.

•••

Suasana sekolah masih terasa sepi, meski bel masuk akan berbunyi lima belas menit lagi. Aiden melangkahkan kakinya lebar-lebar, menyusuri lorong yang kosong. Embusan angin dingin yang menyapu epidermis membuatnya sedikit menggigil. Walau begitu, tetap, Aiden merasa begitu semangat hari ini.

"Akhirnya tukang bolos ini masuk sekolah." Satu suara terdengar, diikuti oleh rangkulan pada pundak Aiden. "Gimana setelah liburan berminggu-minggu? Pasti udah siap banget buat ulangan Fisika hari ini."

Aiden tersenyum lebar, membalas rangkulan Argha. "Julukan dari siapa lagi itu? Perasaan, gue udah ngirimin surat sakit kemarin."

"Biasa, musuh abadi lo; guru Sejarah," balas Argha. "Gue juga heran. Padahal, jelas-jelas lo lagi di rumah sakit. Tapi, masih dibilang tukang bolos. Mungkin, harus sekarat dulu kali, biar nggak dibilang begitu."

Loh, gue, 'kan, emang sekarat?

Aiden terkekeh geli. Kedua kakinya melangkah, beriringan dengan langkah Argha. Sesekali, ia melompati garis yang tercetak di lantai. Berpikir bahwa ia akan kalah jika menginjak garis itu.

"Jadi, gimana? Udah sehat?"

Pertanyaan yang bahkan tidak dapat Aiden jawab.

"Hm, gimana, ya?" Aiden melirik ke arah lapangan basket yang dialihfungsikan sebagai lapangan upacara setiap hari Senin. "Belum tahu, deh. Kemarin, 'kan, gue maksa pulang. Abisnya, di rumah sakit nggak enak banget. Lihat."

Aiden menunjukkan kedua punggung tangannya yang lebam. Belum lagi, di area siku dalam. Berkali-kali ia harus melakukan prosedur pengambilan darah. Berkali-kali juga pembuluh darahnya pecah. Lama-kelamaan, Aiden terbiasa, namun rasanya sakit juga setiap kali ada jarum yang menusuk kulitnya.

"Bayangin, selama di rumah sakit lo disuntik terus. Belum lagi pas pasang infus. Katanya, pembuluh darah gue halus banget, jadi gampang pecah," lanjut Aiden. Ia sedikit meringis, mengingat bagaimana dirinya hampir menarik benda yang ada di pembuluh darahnya tersebut. Belum lagi, ketika bengkak yang lumayan besar, walau tak lama hilang setelah dikompres dengan cairan NaCl.

"Kalau kata gue, Gha. Jangan sampai lo masuk rumah sakit. Kasurnya nggak enak, makannya nggak enak, nggak ada hiburan. Paket lengkap penderitaan, deh."

"Ye, siapa pula yang mau masuk rumah sakit?" Argha membalas.

"Ya, itu. Jangan sampai makanya." Aiden menepuk pundak Argha. "Pokoknya, lo harus sehat, ya. Jangan sampai tiba-tiba sakit, terus dirawat di rumah sakit."

"Ya, ya. Lo juga jangan sampai masuk rumah sakit lagi. Apalagi sampai berminggu-minggu."

Aiden tergelak setelahnya. Tidak dapat menahan sama sekali. Jangan sampai masuk rumah sakit lagi, katanya? Mana mungkin.

Namun tetap, Aiden mengangguk. "Semoga, ya. Gue juga berharap gue nggak pernah masuk rumah sakit lagi. Kalau pun harus dirawat, sebentar aja, deh."

Ya, kalau bisa, sih, jangan sampai.

"Tapi, Den. Gue jadi penasaran."

"Apaan?"

"Lo itu sakit apa, sih, sebenarnya?"

Aiden membuat wajah sok misterius. Lengan kanan dilipat di depan dada menumpu lengan sebelah kiri. Seolah sedang berpikir, Aiden menempelkan jemari di sudut bibirnya.

"Rahasia." Aiden menjawab pada akhirnya. "Nanti, gue bakal kasih tahu. Tapi, kayaknya lo nggak bakal tahu, sih."

"Dih, mainnya rahasia-rahasiaan."

"Ya, nanti gue kasih tahu." Tapi, kalau gue udah dimakamin.

"Parah?"

Aiden terdiam sesaat, kemudian menggeleng. "Nggak, kok. Cuma flu biasa." Setelahnya, cengiran menyebalkannya muncul. "Pokoknya, lo nggak usah khawatir, deh. Nggak bakal bikin gue mati juga."

Argha menatap Aiden tidak percaya, namun setelahnya ia mengembuskan napas. Mungkin, Aiden tidak mau berkata dengan jujur. Tingkahnya yang agak mengkhawatirkan juga cukup membuat Argha tidak berani bertanya lebih jauh. Toh, selama ini mereka tidak terlalu dekat.

"Yah, pokoknya, jangan sampai mati, ya."

Aiden mengerjap beberapa kali dan mengangguk. "Iya, iya. Pasti. Gue nggak bakal mati karena penyakit sepele kayak gini.

•••

Pelajaran Fisika ada di jam pertama. Tepat setelah tadarus, murid kelas 10 IPA 1 segera masuk ke dalam kelas. Masalahnya, Bu Erna, guru Fisika mereka, adalah salah satu guru yang menjunjung tinggi ketepatan waktu. Bahkan, tidak sampai waktu lima menit, wanita berkacamata tebal itu sudah berdiri di depan kelas. Membawa setumpuk kertas yang berisi soal ujian untuk hari ini.

"Mejanya direnggangkan. Buku-buku, kotak pensil, semua di dalam tas. Yang di atas meja hanya pulpen." Bu Erna membagikan kertas yang dibawanya. "Tidak boleh ada tip-ex atau coretan sama sekali. Waktunya tiga puluh menit, jumlah soal ada sepuluh. Kalau sudah selesai, boleh langsung dikumpulkan."

Aiden meringis pelan. Kepalanya terasa pening, entah apa sebabnya. Ia berkali-kali menunduk dan memejamkan mata erat, berusaha agar nyerinya sedikit berkurang.

Ketika lembar soal sampai ke atas mejanya, segera, Aiden membaca tulisan yang tertera di sana. Berusaha tidak mengacuhkan rasa sakit di kepala. Namun, rasanya otak Aiden tidak dapat dipakai sama sekali. Rasa sakitnya menang, untuk kali ini.

Tangan kanan Aiden yang bebas perlahan memijat pelipis. Berusaha memikirkan jawaban, walau tidak selancar biasanya. Tangan kiri yang mulai menulis, sesekali terhenti ketika rasa sakit yang dirasakannya semakin berulah.

Lalu, satu hal yang tidak pernah disangka Aiden sama sekali. Cairan berwarna merah mengalir dari hidungnya, menetes begitu saja hingga mengotori lembar jawaban. Agak banyak, hingga tangan Aiden secara serampangan meraih tisu yang ada di kolong meja. Berusaha menghentikannya.

Baru satu nomor, Den. Lo kenapa, sih?

Hal tersebut sontak menarik perhatian Bu Erna. Wanita tersebut berjalan ke meja Aiden, mengira bahwa laki-laki itu melakukan kecurangan. Walau sebenarnya, memang agak tidak mungkin Aiden melakukan hal tersebut.

"Aiden, kamu—"

Belum sempat Bu Erna menyelesaikan kalimatnya, Aiden bangkit. Menutupi hidung dengan kedua tangan. Tanpa berbicara sama sekali, Aiden beranjak. Meninggalkan Bu Erna dan kertas ulangannya yang dikotori oleh darahnya sendiri.

Sudah dipastikan, Aiden tidak akan lolos sama sekali.

•to be continued•

180 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang