Manik mata legam tersebut bergerak, memperhatikan sekitar. Dirinya duduk sendiri di tengah keramaian. Menikmati makanan yang terasa hambar. Tangan yang awalnya bergerak, kemudian berhenti. Suara sorakan yang terdengar dari lapangan mendadak sunyi. Ada rasa kehilangan yang kemudian menekan dada dengan kuat, hingga membuatnya menjatuhkan sendok begitu saja.
Devin bukan hanya kehilang seorang teman, namun juha seseorang yang dianggapnya sebagai saudara.
Masih teringat bagaimana percakapan mereka secara langsung. Sudah cukup lama, namun Devin masih mengingat setiap detailnya. Bagaimana suara Aiden yang terdengar seperti biasa, disusul aroma mie rebus yang menguar, menusuk indra penciuman dan merangsang suara perut.
"Coy."
Panggilan itu terdengar. Seperti hari-hari sebelumnya. Kondisi Aiden yang semakin memburuk tidak mengubah apapun. Termasuk ekspresinya yang tampak begitu tenang. Sorot mata hangat terasa menusuk. Ada kesedihan yang dapat Devin rasakan. Seolah, Aiden mengetahui bahwa hari itu adalah terakhir kalinya mereka dapat berbincang secara langsung.
"Kalau misal gue nggak ada nanti, lo bakal tetap jadi dokter yang lo mau, 'kan?"
Devin hanya bisa diam saat itu. Lidahnya terasa kelu.
"Ya." Jawaban Devin terasa begitu singkat, hingga kemudian ia menambahkan, "Jangan begitu lah. Gue udah bilang kalau gue bakal nyembuhin lo suatu hari nanti. Kalau lo nggak ada, siapa yang bakal gue sembuhin?"
Suara tawa Aiden terdengar. Ia bahkan sampai meletakkan sendoknya. Helaan napas yang setelahnya terbit, disusul oleh senyuman hangat. Wajah Aiden menunjukkan bahwa ia sudah siap jika tiba-tiba eksistensinya harus berakhir.
"Orang yang sakit di dunia ini nggak cuma gue, Vin. Ada banyak orang yang bisa lo sembuhin selain gue. Kalau nggak ada gue, masih ada orang lain, 'kan?"
Menyakitkan.
"Gue bakal senang banget kalau ada orang yang sembuh di tangan lo. Soalnya, lo mencurigakan. Tapi, gue yakin lo bakal kompeten, sih. Tangan lo bakal jadi tangan yang bawa harapan buat orang lain."
Aiden dapat berbicara seperti itu, tetapi ia tidak memiliki harapan untuk dirinya sendiri.
"Ya, ya, ya. Terserah lo, deh." Tangan Devin terkibas di depan wajah Aiden. "Tapi, ya. Gue juga mau jadi seseorang yang bawa harapan buat lo. Seenggaknya, kita harus sukses bareng, Den."
"Gue juga berharap begitu."
Senyum Aiden menjadi penutup percakapan serius mereka. Selebihnya, ia berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. Membicarakan hal yang tidak penting, namun tetap menjadi sesuatu yang terpatri di ingatan Devin.
Kehadiran Aiden mungkin hanya sesaat, namun terasa begitu bermakna. Sosok yang kini telah hilang, hanya tidak pernah benar-benar hilang. Devin masih berharap hari itu hanyalah mimpi, dan ia tidak kehilangan seorang sahabat.
Tetapi, ketika kembali membaca nama yang tercetak di nisan. Bunga-bunga yang sudah mulai layu. Tanah merah yang sudah mulai mengering. Harapan Devin mungkin dapat dikubur bersama dengan tubuh sang sahabat.
Namun, ada banyak orang yang menunggu untuk ia sembuhkan, bukan?
•darinya sang pemeran pendukung•
A/n
Nangis. Galau banget malam ini huhu. Kangen bangeeet
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?