Aiden pernah berkata pada Ana, kehidupannya mungkin akan lebih mudah ketika ia pergi.
Nyatanya, ketika hari ini harapan Ana pada akhirnya terkabul, ia bahkan tidak dapat bergerak. Jemari dinginnya menyentuh pipi Aiden. Mengusapnya perlahan. Berharap mata indah itu kemudian terbuka.
Tetapi, mau Ana berharap lebih keras lagi, keinginannya yang satu itu tidak akan pernah terwujud.
Suara gemuruh yang kemudian terdengar seolah mendukung perasaan Ana yang hancur. Pikirannya buyar. Padahal, Ana baru saja mendengar kabar gembira dari Aiden dan berharap putranya itu memberi tahu secara langsung dengan senyum lebar di bibir.
Ah, ini salahnya.
Ini ... yang selalu ia harapkan, bukan?
Ana meluruh, tidak dapat menahan bobot tubuhnya sendiri. Penyesalan yang kemudian menusuk dada, hingga rasa sesak perlahan membuatnya kesulitan bernapas. Sosok Rafka yang kemudian muncul tidak mampu membuat Ana tersadar akan kehancurannya.
Aiden sudah sembuh.
Seratus persen, seperti keinginannya.
Meski karena hal itu, dunia kini harus kehilangan sosoknya.
Lalu, gelap. Ana tidak tahu lagi bagaimana ia harus menjalani hidupnya. Kini, seseorang yang selama bertahun-tahun tidak ia acuhkan, pergi begitu saja.
Tidak akan ada lagi seseorang yang berada di dapur, memasak makanan sederhana untuk makan malam, yang bahkan jarang Ana sentuh.
Tidak akan ada lagi lantunan piano di ruang keluarga yang terasa dingin.
Tidak akan ada lagi Aiden di hidupnya.
Beberapa hari Ana habiskan dengan senyum Aiden yang tulus tidak akan pernah menggantikan tahun-tahun sebelumnya. Tidak akan ada cara untuk menebus segala yang pernah ia lakukan. Setiap perkataan yang terlontar, mungkin menjadi salah satu pengantar pada momen ini.
Aiden berkata bahwa ia bahagia, namun hanya untuk sesaat.
Pelukan Rafka yang hangat kemudian menyadarkan Ana. Tangis yang pecah menjadi pengisi di sore hari ini.
"Aiden ... Sayang ...."
Ana berharap, Aiden dapat mendengar suaranya.
Panggilan sayangnya untuk pertama kali.
Dan mungkin tidak akan menjadi yang terakhir kalinya.
"Maaf, maaf, maaf."
Ucapan maaf yang tidak lagi berguna terucap begitu saja.
Aiden hanya punya waktu yang singkat untuk mewujudkan impiannya. Dan kini, ia berhasil. Meski dengan keberhasilannya itu, sosoknya harus pergi.
"Aiden ... selamat, ya." Jemari Ana mengusap surai Aiden. "Bunda ... bangga sama kamu."
•180 days - end•
A/n
AKU RELAIN NGETIK INI PAS MASIH DI TEMPAT KERJA. DAN KADANG TEMENKU DUDUK DI SEBELAHKU, JADI AKU LANGSUNG NGAPUS AIR MATA.
Yang pengin penyesalan, untung masih menyesal si emak satu ini hahahaha.
Apa epilog yang kamu harapkan? Semua cuma mimpi kah? Wkwkwkwk
Aslinya, aku gak pernah tau apa ada penyesalan di keluarga aiden atau nggak. Soalnya, akhir ceritaku sama dia cuma di bagian telepon dan meninggal pas tidurnya. Rasanya, aku berat ngetik itu karena harus mengingat percakapan terakhirku sama dia delapan tahun yang lalu.
Btw, sebenernya aku mau nyelesaiin ini di hari ulang tahunku yang kurang 4 hari lagi wkwkwk. Tapi, ya aku gak sanggup nunggu lama-lama. Anggap aja ini cerita yang aku selesaikan terakhir di 2023.
Apa 2024 aku bakal buat cerita lagi?
Ntah. Satu cerita masih ada yang belum selesai dan resolusiku keknya mau berhenti nulis sad ending WKWKWKWKWK.
Ya, intinya begitu. Cuap-cuap ini lebih panjang dari isi chapter ini.
So, say goodbye sama aiden yuk?
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?