Kamar yang sama seperti yang lalu akan menjadi tempat yang dihuni Aiden sampai waktu yang tidak dapat ditentukan. Meski kali ini bed sebelah tidak kosong, namun tetap Aiden merasa sepi. Suara musik relaksasi terdengar, tapi tetap tidak membuat Aiden merasa tenang.
Rafka berdiri di depan jendela, menatap ke luar. Ponsel yang sedari tadi berbunyi menarik perhatian keduanya. Aiden hendak bertanya, namun Rafka terlebih dahulu mematikan perangkat elektroniknya tersebut. Panggilan tersebut dari ayahnya dan Rafka sedang tidak ingin ribut saat ini.
"Kenapa nggak dijawab?" Pada akhirnya, Aiden tetap bertanya. Ia tidak bisa kembali tertidur karena kelaparan dan jam makan malam sudah terlewat beberapa saat lalu. Sayang, Aiden belum masuk ke ruang rawat ketika petugas gizi membagikan makanan.
Rafka mengerjap, berusaha mengembalikan kesadarannya. Ia menutup gorden, kemudian membalik tubuh. Berjalan dengan lesu ke kursi kecil yang ada di sisi bed dan duduk di sana.
"Nggak apa-apa," jawab Rafka dengan pertanyaan yang bahkan tidak menjawab sama sekali. "Oh, ya. Gue penasaran. Tadi, gue cek seragam lo ada darahnya. Lo berantem sama orang?"
Aiden menggeleng cepat. Bisa-bisanya sang kakak berpikir seperti itu. "Gue mimisan di sekolah. Pas ulangan Fisika. Padahal, baru satu soal, loh, Kak. Payah banget, ya, gue?"
Rafka tidak langsung menjawab. Wajahnya terlihat lesu. Entah apa yang kakaknya itu sembunyikan, Aiden tidak tahu. Rasanya, Rafka menutupi lebih banyak rahasia dibanding dirinya.
"Soal minggu-minggu kemarin ... lo kenapa nggak balas pesan gue sama sekali? Lo juga nggak ada nelepon gue." Aiden kembali bertanya. "Gue pikir, lo nggak mau mengakui gue sebagai adek lagi."
"Bukan gitu." Rafka tertawa pelan. "Aduh, lucu banget, sih, adek gue. Mana mungkin gue nggak mau mengakui lo lagi?"
"Lo nggak pernah muncul, ya gue kebawa pikiran," balas Aiden. "Lo lagi sibuk kuliah, ya, Kak? Nggak apa-apa, kok, kalau nggak nungguin gue gini. Udah biasa sendiri juga."
"Nggak. Gue juga suntuk di rumah terus. Adek gue berisik banget. Gue nggak fokus belajar." Rafka meluruskan kaki, menaikkannya hingga sedikit mendorong tubuh Aiden. Kepala Rafka menengadah, menatap lampu yang berada tepat di atasnya.
"Den, kalau gue udah lulus kuliah dan udah kerja, lo mau ikut gue, nggak?" Rafka tiba-tiba bertanya. "Gue nggak suka ngelihat lo terus diperlakuin gitu sama bunda."
"Ikut lo?" Aiden menatap Rafka, sedikit tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Kepalanya kemudian tertunduk dalam. "Gue ... bisa keluar dari rumah?"
"Ya ... tapi, gue nggak tahu, sih, bakal kapan. Semoga aja gue bisa lulus tepat waktu, terus cepat dapat kerja." Rafka melanjutkan. "Lo bisa bertahan sampai saat itu, 'kan?"
Aiden diam sejenak. Menolehkan kepala hingga tidak lagi menatap Rafka. Ia kemudian berkara, "Kalau gue keluar dari rumah, siapa yang masak buat bunda lagi? Nanti, kalau bunda nggak makan teratur, gimana?"
"Lo masih peduli sama bunda setelah diperlakuin gitu, Den?" Rafka berdecak beberapa kali. Tak lama, helaan napasnya terbit. Sungguh, Rafka tidak mengerti sama sekali dengan adiknya itu. "Hati lo terbuat dari apa, sih? Lo udah kayak tokoh protagonis di sinetron."
Aiden tertawa geli. "Drama banget, ya, hidup gue? Hidup lo juga drama, sih. Apalagi kalau soal kuliah lo."
"Bedanya, kalau gue jadi lo, gue pasti kepikiran buat bunuh diri sejak lama," lanjut Rafka. Ia menepuk pundak Aiden beberapa kali. Lalu, gerakan tangannya terhenti begitu saja. Ada sedikit rasa takut yang Rafka rasakan. Jika Aiden sampai mengakhiri hidupnya sendiri ... Rafka pasti akan menyalahkan dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?