"Den, lo mau pulang aja? Gue izinin ke guru piket sama wali kelas, ya?"
Aiden menggeleng cepat seraya meneguk obat yang diberikan oleh petugas Unit Kesehatan Sekolah. Meski tadi pagi memiliki semangat tinggi, nyatanya tubuhnya tidak berhendak demikian. Dikira masih dapat sedikit berolahraga, ternyata Aiden tidak sanggup untuk melanjutkan, hingga berakhir terbaring di sana.
"Nggak usah. Gue nggak apa-apa."
"Woi, serius, deh." Devin berdecak beberapa kali. Laki-laki di hadapannya ini masih bersikap sok kuat, meski wajahnya sudah seperti mayat hidup. Jemarinya terasa dingin ketika ia membantu Aiden untuk naik ke atas brankar. Hingga Devin tidak yakin sahabatnya itu masih memiliki darah. "Kalau lo nggak apa-apa, seharusnya lo masih di lapangan, bukan di sini."
Aiden tertawa pelan. Bukan karena ucapan Devin yang lucu, tetapi karena ia ingin menertawai dirinya sendiri. Padahal, rasanya semester lalu Aiden masih dapat berlari di lapangan, berolahraga bersama teman-temannya.
"Gue cuma pusing sedikit," balas Aiden.
Pusing sedikit, katanya.
Devin menghela napas panjang, berjalab menuju brankar lain dan duduk di atasnya. Tidak seperti Aiden, ia terlalu malas untuk mengikuti pelajaran. Cuaca yang mendung namun tetap terasa panas, justru membuat semangat yang tidak pernah naik itu semakin menurun.
"Lo mau teh hangat?"
Aiden lagi-lagi menggeleng. "Teh hangat nggak bakal bikin pusing gue hilang, kayaknya," jawabnya. Ia mengubah posisi kepala, hingga merasa nyaman dan mulai mengantuk.
"Vin, maaf, ya," lanjut Aiden. Kedua kelopak matanya beberapa kali mengerjap. Napasnya terasa sesak, meski sudah tidak separah tadi. Pening yang tadi dirasakannya juga sedikit berkurang, walau rasanya jika Aiden bangkit, ia mungkin dapat terjatuh. "Gue ... nyusahin banget, ya, sampai harus dibawa ke UKS gini?"
"Lo ngomong apa, sih?" Devin bergumam pelan. Kedua kaki yang menggantung diayunkan. Sesekali permukaan sepatunya mengenai lantai, hingga menimbulkan suara decitan, yang mengisi jeda pada kalimatnya. "Nggak. Lo nggak nyusahin, kok. Tenang aja. Gue juga senang karena disuruh bantuin lo ke sini. Lumayan, nggak perlu panas-panasan."
Aiden tidak tahu harus membalas apa. Lengkungan di bibir yang biasa terulas, kini tidak terlihat. Rasa sesak memenuhi dada. Harus terlihat selalu baik-baik saja ternyata menyakitkan.
"Lo udah bilang masalah ini ke bunda lo?" Devin tiba-tiba bertanya. "Kita masih di bawah umur, 'kan, masuknya? Berarti, kalau ada apa-apa harus sama orang tua. Apa ... lo udah bilang?"
"Gue pengin banget cerita ke bunda gue, tapi dia juga nggak pernah ngerespon ucapan gue," jawab Aiden. "Ah, ya, pernah, sih. Tapi, gue sama bunda gue nggak pernah benar-benar bicara. Jujur aja, gue nggak tahu gimana harus mulai. Jadi, ya udah, deh. Buat sekarang, gue urus dulu semuanya sendiri. Mungkin, gue bakal cerita ke kakak gue. Aman, lah."
Kali ini, ganti Devin yang terdiam. Meski sudah mengenal Aiden dalam waktu cukup lama, nyatanya Devin masih tidak mengerti, kenapa laki-laki di hadapannya itu selalu bersikap baik-baik saja. Padahal, dapat Devin dengar nada suaranya yang bergetar, seolah ada yang menahan. Sesekali, dapat Devin lihat cairan yang menggenangi pelupuk matanya.
"Mungkin, kakak lo bisa jadi penghubung antara lo sama bunda lo," ucap Devin pada akhirnya. "Bunda lo seharusnya tahu, 'kan? Maksud gue, sebagai orang tua. Masa iya, anaknya sakit, tapi orang tuanya nggak peduli?"
Aiden lagi-lagi tertawa. Terdengar begitu lirih. "Vin, orang tua lo sama orang tua gue beda. Serius, deh." Ia berucap pelan. "Gue cuma anak dari hasil kesalahan. Nggak ada yang peduli sama gue. Mau gue mati juga, kayaknya bunda gue bakal senang. Seenggaknya, dia nggak perlu lihat gue lagi, 'kan?"
Devin berdecih. Ia lantas membuang pandangan. "Lagian juga, kesalahan siapa, yang harus nanggung beban siapa. Lo seharusnya nggak usah mikir gitu, Den."
"Biarin aja. Gue juga udah nerima sejak lama, kok."
Devin tidak tahu kenapa Aiden masih bisa berucap dengan santainya. Jika posisinya dibalik, mungkin Devin tidak akan pernah bisa bersikap sama.
"Gue juga punya kakak yang baik. Yah, emang, sih, Kak Rafka jarang banget pulang. Cuma, dia selalu ngehubungin gue. Walau jauh juga, dia masih merhatiin gue, kok. Paling nggak, dia bisa jadi harapan gue buat hidup." Senyum Aiden mendadak terbit. "Seenggaknya, gue tahu kalau ada orang yang masih peduli sama gue."
"Gue juga peduli sama lo."
"Gue tahu." Aiden berusaha bangkit, kemudian duduk di pinggir brankar. "Makasih, ya. Kak Rafka emang jauh sekarang, tapi gue bersyukur banget masih ada lo di sini. Seenggaknya, kalau hari ini hari terakhir gue, gue nggak bakal sendirian."
Devin lantas meringis pelan. Ucapan Aiden akhir-akhir ini terdengar menyeramkan. "Jangan ngomong aneh-aneh, bentar lagi lo enam belas tahun."
"Oh, ya, benar juga." Aiden melirik kalender yang ada di atas meja. Sedikit menyipit karena penglihatannya yang memburuk. "Kak Rafka mau pulang pas ulang tahun gue. Katanya, gue disuruh nyiapin makanan. Gue bakal masak yang banyak, semua makanan kesukaan dia. Jarang-jarang, 'kan, dia pulang ke rumah."
"Lihat kondisi lo juga. Jangan terlalu dipaksain. Jangan sampai lo malah sakit pas ulang tahun."
"Tenang aja. Gue yang paling paham sama kondisi diri gue sendiri. Kalau gue ngerasa udah nggak sanggup, gue bakal istirahat."
Devin tidak dapat percaya dengan ucapan Aiden. Buktinya saja, jika tidak dipaksa ke UKS, ia akan tetap berlari mengitari lapangan. Mungkin saja, sampai tubuhnya ambruk sendiri.
"Semoga aja, kali ini dia pulang beneran. Soalnya, tahun lalu pernah janji juga. Eh, malah nggak jadi." Aiden melanjutkan. Sejenak, ia memejamkan mata dan meringis pelan. "Gue agak sakit hati, sih. Padahal udah nyiapin makanan yang banyak. Kekanakan banget, ya? Harusnya, gue paham kalau Kak Rafka juga sibuk."
"Kata gue, mending lo pulang aja, Den." Devin mengalihkan pembicaraan. "Atau kalau perlu, mending ke rumah sakit. Agak ngeri gue lihat muka lo."
"Nggak usah."
"Gue minta tolong ke wali kelas buat bilang ke bunda lo, ya." Devin turun dari brankar. "Jangan pulang sendiri. Nanti, lo malah kenapa-napa di jalan."
"Vin, nggak usah—" Belum sempat Aiden menyelesaikan kalimatnya, Devin langsung berlalu begitu saja, meninggalkan Aiden seorang diri di UKS. Embusan napas Aiden yang berat lalu terdengar. "Belum tentu juga bunda mau jemput. Nggak mungkin tiba-tiba dia peduli ke gue."
•••
Namun nyatanya, tebakan Aiden salah. Sang bunda yang bahkan tidak pernah mengambil hasil belajarnya, mendadak muncul, hanya karena satu panggilan. Tidak bisa bohong, Aiden tentu senang. Dengan langkah yang ringan, Aiden berjalan mengikuti Ana. Keluhannya seolah menghilang begitu saja.
"Bunda, makasih, ya," ucap Aiden. Ia berusaha menyejajarkan langkahnya dengan langkah Ana. "Maaf juga karena udah ngerepotin Bunda. Pasti, Bunda lagi sibuk banget, 'kan?"
Ana tidak juga menjawab, bahkan ketika keduanya masuk ke dalam mobil. Aiden sendiri tidak masalah. Setidaknya, ia tahu sang bunda masih peduli padanya.
"Maaf, ya, Bun. Teman aku emang suka—"
"Aiden." Suara Ana terdengar, begitu dingin. "Lain kali jangan merepotkan begini. Saya punya banyak urusan. Dan kamu nggak lebih penting dari urusan itu. Nggak perlu sampai pura-pura sakit begitu."
Ucapan Ana terdengar begitu menusuk. Membuat Aiden bungkam dan menunduk dalam. Sepanjang perjalan, ia tidak lagi bersuara, membiarkan rasa sakit menjalari perasaannya, hingga ada satu hal yang mendadak muncul; Aiden tidak ingin lagi berjuang untuk tetap berada di sini.
•to be continued•
A/n
Ah, sial. Aku berasa nyesek ngetiknya wkwkwkwk
KENAPA PULA AKU NGETIK INI JAM SEGINI?
ENJOY, GUYS
Dan selamat hari senin :D
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?