Kak Rafka
Kak, hari ini gue pulang.
Itu juga karena gue minta. He-he.
Kebetulan, Hb gue udah ya ... cukup lah. Katanya, sih, emang transfusi kemaren itu biar Hb gue paling nggak nilainya 10.
Oh, ya. Nanti, pas kontrol mau diomongin lebih lanjut soal treatment gue.
Lo bisa temenin nggak, ya?
Tolong dibalas, ya, Kak.
Cuma lo keluarga yang bisa gue harapin.
Gue bingung banget kalau sendirian gini. Mana umur gue masih 16.
Kalau gue udah legal, mah, bodo amat mau sendirian atau nggak.
Aiden menghela napas panjang. Masih belum ada balasan sama sekali. Tanda kalau pesan sudah dibaca belum muncul. Berhari-hari pula, Rafka tidak datang. Menghubungi juga tidak. Padahal, Rafka biasa menelepon Aiden ketika malam atau pagi hari. Setidaknya, sekali dalam sehari, keduanya akan bertukar kabar.
Infus yang awalnya terpasang di punggung tangan kanan Aiden kini sudah dilepas. Hanya tinggal menunggu berkas dan surat kontrol. Ia masih duduk di ruang rawat yang sudah dua minggu ini ditempati. Rasanya agak menyedihkan karena lebih dari tiga kali sehari akan ada perawat yang datang untuk mengecek tanda vital, namun setelah pulang ke rumah, hanya kesendirian yang menemani.
Setelah ini, mungkin tidak akan ada lagi orang yang bertanya bagaimana kabar Aiden hari ini. Apa semalam tidurnya nyenyak? Atau apa makanannya habis dimakan?
Dengan tangan yang meraih tas yang tergeletak di atas bangku, Aiden bangkit, tepat ketika suara dari interkom yang menyatakan bahwa keluarganya dipanggil ke nurse station, terdengar. Badannya masih terasa lemas karena berhari-hari terus berbaring. Kepala Aiden agak pening, namun tidak separah sebelumnya.
Langkah Aiden terasa berat saat menyusuri lorong rumah sakit. Tangan yang tidak membawa barang apapun dimasukkan ke dalam saku jaket. Baru kali ini, ia benar-benar memperhatikan keadaan rumah sakit. Rasanya begitu suram dan menyedihkan. Seperti ada sesuatu yang membuat Aiden ingin cepat-cepat keluar dari tempat itu. Masih merasa beruntung bahwa dirinya dapat pulang dalam keadaan hidup, namun ada perasaan berbeda ketika mengingat bahwa ia harus kembali ke sana.
"Atas nama Kak ... Aiden ... Khailan Nadhirrizky, ya? Kakak sendiri? Keluarganya di mana?"
"Ah, itu ...." Aiden mengusap lengannya. Ia melirik sejenak ke arah lain. "Keluarga saya masih di jalan. Kayaknya, sebentar lagi sampai."
Bohong, Den. Keluarga apa?
"Baik. Kalau gitu, ini surat kontrolnya, ya, Kak. Dua minggu lagi. Berarti, tanggal ... 23 Februari, ya, Kak. Nanti, tinggal dibawa aja berkasnya ke pendaftaran." Petugas administrasi menjelaskan seraya menyerahkan berkas milik Aiden. "Di sini juga ada hasil lab. Terus ... obat-obatnya, ya, Kak."
Aiden menganggukkan kepalanya mengerti. Menatap etiket obat yang tertulis nama panjang serta tanggal lahirnya. Penjelasan mengenai kapan dan berapa kali obat tersebut harus Aiden konsumsi memasuki indera pendengarannya, meski hanya sebentar terproses di kepala. Nyatanya, Aiden rasanya tidak ingin meminum obat-obatan tersebut.
"Kalau mau nunggu di kamarnya, boleh, kok, Kak."
"Nggak apa-apa, Kak. Saya tunggu di lobi aja," balas Aiden cepat. Ia memasukkan berkas serta obat-obatannya ke dalam tas tenteng yang dibawa. "Terima kasih, ya, Kak."
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?