bagian 15

6.6K 626 22
                                    

Aiden tidak tahu sudah berapa lama ia berada di rumah sakit. Waktu seolah terhenti, meski terkadang ia dapat melihat kondisi gelap di luar. Nyatanya, semua tetap berjalan, meski Aiden tidak bisa merasakan hal yang sama.

Sekiranya hari ini akan menjadi hari terakhir Aiden di rumah sakit, namun keesokan harinya ia masih berbaring di tempat yang sama. Menatap langit-langit putih yang membosankan. Menghirup aroma disinfektan yang menyengat. Lalu, berhadapan dengan obat-obatan.

Tangan Aiden menyentuh keningnya sendiri. Terasa agak hangat, padahal ketika pengecekan suhu terakhir kali, diketahui masih berada di batas normal. Agak aneh, namun Aiden juga merasa terbiasa. Berkali-kali ia mengalami demam tinggi ketika berada di rumah.

Sedang sibuk-sibuknya berpikir negatif, pintu yang diketuk kemudian terbuka, lantas membuat Aiden menoleh. Tersenyum lebar meski badannya terasa begitu lemah. Berharap bundanya yang secara tiba-tiba mendapat hidayah, menjenguk untuk pertama kalinya.

"Hai! Gue datang lagi."

Sayangnya, harapan Aiden runtuh begitu saja ketika mendengar suara itu. Senang karena mendapat pengunjung di hari yang membosankan, tapi bukan orang yang Aiden harapkan. Senyum Aiden luntur, menyisakan helaan napas berat.

"Loh, Kak Zello."

"Walah, rasanya ada yang nggak senang sama kehadiran gue. Padahal, baru kedua kalinya gue ke sini." Zello menunjukkan raut kecewa, meletakkan tas tenteng yang dibawanya. "Gue bawa es krim. Kebetulan, gue baru dibolehin pulang hari ini. Terus, karena gue nungguin orang tua gue dulu, jadi gue jajan es krim di bawah. Nih, buat lo. Boleh makan es krim, 'kan?"

"Gue nggak ada pantangan kayaknya, tapi lagi nggak enak makan." Aiden yang awalnya sudah bersemangat dengan menegakkan tubuh, sontak kembali berbaring. Ia menatap tas tenteng yang dibawa Zello, kemudian beralih pada jendela. "Congrats, ya, udah boleh pulang."

"Lo kapan?" Zello balas bertanya. "Tapi, kok, kayaknya lo kelihatan lebih lesu dari terakhir gue lihat? Lo baik-baik aja, 'kan?"

Kadang, Aiden berharap, keluarganya yang bertanya seperti itu.

Aiden berdecih pelan. Ia membuang pandangan, enggan menatap Zello. Lalu, kepala Aiden mengangguk perlahan.

"Gue baik-baik aja, kok," jawab Aiden pada akhirnya.

"Kakak lo nggak ke sini?" Zello kembali bertanya.

Aiden menggeleng pelan, menjawab tanpa suara. Sejak tadi, Rafka tidak dapat dihubungi sama sekali. Kemungkinan sibuk kuliah. Atau yang paling menyakitkan, sibuk dengan keluarganya.

Menatap Zello rasanya seperti menatap sosok yang diinginkan Aiden. Hidup yang membahagiakan, keluarga yang sempurna, serta harapan. Entah sejak kapan, melihat orang lain seolah sedang merendahkan diri sendiri. Hingga terkadang membuat Aiden merasa dirinya tidak pantas berada di sini.

"Kak, gue boleh nanya?"

Kedua alis Zello tertaut heran. "Hm? Nanya apa?"

"Gimana ... rasanya punya keluarga?"

Suara Aiden terdengar serak, hingga membuat Zello menoleh, menatap intens kepada sang penanya. Raut yang awalnya heran, berubah menjadi sebuah kesedihan.

"Keluarga, ya ...." Zello menarik napas panjang. Melirik ke arah langit-langit. "Gue nggak begitu tahu, sih. Selama ini, orang tua gue selalu sibuk sama urusannya. Di rumah juga cuma sebentar. Gue kadang ngerasa kayak ... apa, ya? Nggak punya sosok yang bisa gue bilang sebagai orang tua? Ya, mungkin kurang lebih begitu."

Zello mengubah posisi saat merasa agak tidak nyaman. Ia berdeham pelan. "Tapi, walau gitu, gue tetap menganggap keluarga gue sebagai penyemangat buat gue, sih. Gue kadang nggak kepikiran kalau gue nggak punya keluarga yang mendukung gue buat tetap hidup."

180 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang