bagian 14

6.5K 581 42
                                    

Entah bagaimana ceritanya, Rafka kembali datang berkunjung di hari Senin. Katanya, ia baru saja pulang dari kampus, mampir sebentar berniat mencari camilan, dan makan di taman yang berada di seberang rumah sakit. Aiden awalnya bingung, namun di saat bersamaan, ia juga merasa senang.

Meski berhari-hari tidak pulang ke rumah, Ana tidak juga mengiriminya pesan. Aiden paham, keabsenan dirinya di rumah bukan menjadi masalah. Atau bahkan, Ana mungkin sudah membuang semua barangnya dan memaksa Aiden untuk keluar dari rumah, bahkan sebelum ia memiliki kartu tanda penduduk.

Rafka yang duduk di sofa mengerjap beberapa kali. Masih asyik mengunyah makanannya. Tadi sempat ikut mendengarkan diskusi Aiden dengan dokternya, hingga rasa lapar menyerang. Tidak ada yang ia mengerti, mulai dari topik pembicaraan hingga raut wajah Aiden.

"Katanya, kalau suka ngelamun sambil makan, nanti makanannya diambil hantu." Aiden tiba-tiba berbicara. Ia berdeham, berusaha menetralkan suara yang terdengar serak. Pikirannya seolah terbebani, namun ia tidak mau menunjukkannya di hadapan Rafka.

Kedua bola mata Rafka bergerak. Menatap ke makanan dan berganti pada Aiden. "Lo hantunya?" balasnya.

Aiden mengangguk beberapa kali. Binar menari di kedua manik mata. Pembicaraan dengan dokter tadi sedikit mengganggu dan Aiden ingin mengenyahkan suara-suara tersebut dari kepalanya. Hingga pada akhirnya, berbicara dengan Rafka menjadi satu-satunya pilihan.

"Mau minta, boleh?"

"Nggak. Makan siang lo sebentar lagi diantar."

"Nggak suka. Rasa bawang putihnya keterlaluan."

"Ya udah, nanti gue yang makan."

"Terus, gue makan apa?"

"Makan hati aja, gimana?"

Aiden berdecak beberapa kali. Ia ingin pulang. Ingin kembali memasak makanan favoritnya. Aiden ingin bisa kembali tidur di kamarnya yang mungkin kini sudah berdebu. Aiden rindu dengan permukaan kasur yang terasa dingin setelah ditinggal seharian. Atau dengan kucing tetangga yang suka menyapa pada malam hari.

Dalam sekali lihat, Rafka dapat melihat perubahan raut wajah Aiden. Tangannya meletakkan sendok, kemudian menyodorkannya pada sang adik, meski ia masih duduk di sofa dan Aiden berada di bed. Rafka berdeham sejenak, menarik perhatian Aiden.

"Nih," ucap Rafka. "Buat lo."

Senyum Aiden lantas mengembang, tidak bisa ditahan sama sekali. "Tiba-tiba banget. Ada apa, nih?" tanya Aiden penasaran.

"Nggak ada apa-apa. Gue cuma udah kenyang," jawab Rafka. "Mau gue suapin? Tangan lo pasti nggak enak dipake buat makan. Apalagi, baru pindah infus gitu."

Aiden menatap infus yang kini berganti ke tangan kanan. Disebabkan oleh ketidaktahuan Aiden mengenai benda yang masuk ke pembuluh darahnya tersebut. Selain itu, hobinya menaikkan tangan hingga darah menyumbat selang, pergerakan tangan yang kadang tidak dapat ditahan, hingga rasa tidak nyaman yang lama-lama Aiden rasakan. Tangan kirinya bengkak dan untuk kesekian kalinya, Aiden harus rela tubuhnya kembali ditusuk jarum.

"Gue bisa makan sendiri," balas Aiden. "Sini, sini. Gue udah lama banget mau nyobain makanan di taman depan. Katanya, enak-enak banget, ya?"

"Enakan juga masakan lo." Rafka mengerlingkan mata kirinya. Agak sedikit membuat Aiden merinding, namun setidaknya ia dapat makanan.

"Kayak lo pernah makan masakan gue aja," sindir Aiden. Ia selalu ingat untuk memasak setiap kali Rafka berkata akan mampir ke rumah. Tetapi, selalu, laki-laki itu mengingkari perkataannya sendiri. Menjejakkan kaki ke rumah saja tidak pernah, apalagi mencicipi makanannya. "Gue belajar masak setelah orang tua kita pisah. Selama itu juga, emangnya, lo pernah main?"

180 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang