Aiden sedang menguap lebar ketika tiba-tiba pintu kamar terbuka. Gerakannya terhenti dengan kepala yang menoleh. Agak sedikit merapikan selimut, takut-takut yang masuk adalah petugas di sana.
Lalu, netra cokelat yang penuh binar harapan itu semakin melebar ketika melihat sosok yang bahkan tidak pernah ia sangka sebelumnya. Tidak dapat berkata, ditambah dengan dua orang lain yang mengikuti.
"Bun-da?" Aiden mengerjap beberapa kali. Tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Tubuhnya membeku, seolah tidak dapat bergerak sama sekali. Aiden terdiam, hingga ia dapat mendengar detak jantungnya sendiri yang makin lama makin cepat.
Masalahnya, ketika menghampiri, senyum Ana tampak terlukis di bibirnya. Sesuatu yang tidak pernah Aiden lihat tertuju padanya. Tampak begitu lembut, hingga ponsel yang berada di genggaman Aiden terjatuh begitu saja.
"Aduh, hari ini panas banget!" Suara Rafka terdengar.
"Kak Rafka?"
Kepala Aiden rasanya pening.
"Halo, Den! Senang banget karena pas main ke sini, lo lagi nggak tidur. Gila, berhari-hari kerjaan lo tidur doang." Rafka mengangkat tangan, hendak mengajak Aiden untuk bertos ria. Sayang, orang yang diajak tidak mengerti sama sekali, hingga hanya diam, menatap tangan Rafka tanpa membalasnya.
Kemudian, satu usapan di kepala membuat Aiden tersadar. Ia menoleh, menatap ke sosok wanita yang berdiri di sebelahnya. Ekspresi Aiden tidak dapat terbaca; antara kebingungan, senang, tidak percaya, semua menjadi satu.
"Sayang, gimana kondisi kamu sekarang? Udah baikan? Maaf, ya, Bunda baru bisa ke sini."
Ya Tuhan ....
Aiden kembali mengerjap, entah sudah yang keberapa kalinya. Genangan yang berada di sudut sedikit membuat gatal, hingga punggung tangan Aiden mengusapnya. Paru-paru yang awalnya sulit ketika digunakan bernapas, kini terasa lebih lega. Hingga rasanya, Aiden tidak memerlukan bantuan lagi.
"H-hah?"
"Dih, Den. Lo kenapa, deh? Aneh banget," celetuk Rafka yang kemudian duduk di sebelah Aiden. Tangannya mengacak rambut sang adik, gemas sendiri karena tingkah anehnya.
Bukan gue yang aneh, Kak.
Ini ....
Cuma mimpi, 'kan?
"Bunda bawain makanan kesukaan kamu." Ana berucap. Meraih tas tenteng yang dibawa oleh Rafka. "Kamu pasti belum makan. Kebetulan, Bunda masak banyak hari ini. Khusus buat kamu."
Kalau ini mimpi ....
Kenapa rasanya begitu hangat?
Apa begini rasanya punya keluarga lengkap?
Senyum Aiden merekah. Kepalanya kemudian mengangguk cepat. Tangannya dengan sigap menerima kotak makan yang Ana sodorkan.
"Bunda belum tahu pantangan kamu apa, tapi kayaknya sesekali biarin kamu bebas makan, nggak apa-apa, deh." Jemari lentik Ana terangkat, menyentuh dagu, tampak berpikir. "Yah, pokoknya, buat hari ini, kamu puas-puasin makan, ya."
Tidak peduli dengan pikirannya yang sedari tadi terus bertanya-tanya, Aiden meraih sendok yang Ana sodorkan. Memakan makanan yang Ana buat khusus untuk dirinya. Meski mulutnya terasa agak pahit, tapi ia terap memakannya dengan lahap.
Kalau ini cuma mimpi ....
"Enak banget, ya, yang dimasakin sama Bunda," ucap Rafka. "Bagi-bagi sedikit kenapa, sih? Kasihan ini kakaknya belum makan sama sekali."
Aiden tersenyum jahil. Menjulurkan lidahnya seolah menyejek Rafka. Biar saja laki-laki itu mengharap akan diberi sedikit belas kasih. Aiden sedang tidak ingin berbagi makanan sedikit pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?