bagian 23

6.1K 545 64
                                    

Selama pelajaran Biologi, mau tidak mau, Aiden harus menahan rasa laparnya. Meski kotak bekal yang sudah dibuka berada di pangkuan, tapi sedari tadi, Bu Nina terus menoleh ke arahnya sembari menjelaskan mengenai kingdom animalia. Hingga Aiden tidak bisa memasukkan satu suapan pun ke mulut.

"Den, lo tahu, nggak? Kucing itu mamalia?"

Aiden melirik Devin sejenak, kemudian kembali menatap ke arah papan tulis. Ia masih kesal karena Devin yang banyak bicara, hingga keduanya tidak sempat menikmati makanan di jam istirahat pertama. Memang, masih ada jam istirahat kedua, namun saat ini masih pukul sebelas siang. Istirahat kedua dimulai jam dua belas. Mana bisa Aiden menahan rasa laparnya?

Kalau kata Rafka, lambung bisa mencerna dirinya sendiri jika tidak diisi makanan. Aiden awalnya skeptis saat mendengar ucapan Rafka. Mana mungkin kakaknya yang jelas-jelas masuk ke jurusan yang berada di lingkup sosial humaniora itu bisa berbicara mengenai tubuh manusia?

Tapi, kemudian, perut Aiden yang terasa perih membuatnya sadar, mungkin ucapan Rafka ada benarnya. Awalnya ingin mengonsumsi obat yang ada di kotak obat kelas, tetapi salah satu teman sekelasnya juga mengeluhkan hal yang sama. Obat yang tersisa satu tablet itu akhirnya Aiden berikan ke temannya. Lagipula, ia masih bisa menahan.

Kalau Rafka mendengar hal tersebut, ia pasti akan berkata, "'Kan."

Ah, ngomong-ngomong soal Rafka ... kakaknya itu apa kabar, ya? Aiden belum mendengar kabarnya lagi semenjak terakhir kali mengetahui bahwa ia jatuh sakit. Apa dirinya baik-baik saja?

"Terus, terus. Lo tahu, nggak, kalau ikan nggak punya paru-paru?" Devin lagi-lagi berbicara. Tangannya menutupi mulut, seolah sedang mengucapkan rahasia negara.

"Vin, kita bukan anak SD."

"Lagian, ngambekan mulu kayak cewek."

Hanya sejenak Aiden melirik Devin, sebelum lagi-lagi kedua netranya mengarah ke papan tulis. Tangan kiri memegang pulpen mulai menulis penjelasan Bu Nina, sementara tangan kanannya memegang sendok. Siapa tahu wanita berkacamata tebal itu lengah dan Aiden bisa memakan bekalnya yang menggoda.

"Maaf, deh. Gara-gara gue banyak omong, lo jadi nggak bisa makan," lanjut Devin. "Gue juga nggak sempat makan gorengan, kok. Nih, jadi lembek kena sambal kacang. Duh, bakwan gue. Tahu isi gue. Waaa, bakwan gue!"

Aiden tidak peduli sama sekali dengan keluhan Devin. Tangannya yang memegang sendok perlahan bergerak, tepat ketika Bu Nina sedang menulis di papan tulis. Satu suapan berhasil masuk ke mulut.

"Nggak sopan, makan pas kelas."

"Biarin. Lapar."

"Gue laporin Bu Nina, ya."

Aiden mendengkus. Pada akhirnya, ia memilih untuk tidak peduli sama sekali dengan Devin. Bodo amat lah. Siapa suruh mengganggu orang yang sedang kelaparan? Untuk saat ini, Aiden hanya ingin menikmati makanannya dengan tenang.

"Den."

"Apa, sih? Gue mau makan."

"Kalau ketahuan Bu Nina, lo bakal dikeluarin."

Aiden merotasikan kedua bola matanya. Ia mendengkus. "Ya, makanya nggak usah berisik," ucapnya.

Devin terkekeh geli sejenak. Sempat mendapati bahwa Bu Nina melirik ke arah mereka, namun seolah tidak peduli. Tetap, ia menjelaskan, padahal hampir seluruh penghuni kelas tidak mendengarkan.

"Den."

"Ya Allah, Vin. Lo bisa diam dulu, nggak?"

"Gue jadi kepikiran."

"Loh, emang bisa?"

Devin tidak peduli dengan ucapan Aiden, jadi, ia langsung melanjutkan. "Gue mau jadi spesialis, deh, nantinya," cetusnya tiba-tiba.

180 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang