bagian 38

4.8K 567 47
                                    

Aiden selalu memikirkan bagaimana dirinya harus bereaksi ketika berada di hadapan Ana. Entah bagaimana ekspresi wajah yang harus ia tampilkan. Membayangkan diri sendiri membuat ekspresi semanis mungkin, agar setidaknya Ana sadar bahwa laki-laki di hadapannya ini cukup baik untuk diakui.

Namun, ketika gorden hijau di hadapan Aiden terbuka dan Ana muncul setelahnya, ia tidak bisa mengontrol mimik wajah sama sekali. Keterkejutan yang tidak bisa ditutupi. Lalu, kedua kelopak matanya mengerjap beberapa kali. Detik kemudian, Aiden sadar ia baru saja menampar diri sendiri.

"Bunda?" Aiden bergumam pelan. Menutup mulut yang barusan menganga. Ia terkejut, namun setelahnya berusaha untuk mengambil alih kesadaran. Suaranya terdengar teredam karena hiruk-pikuk instalasi gawat darurat yang sedang ramai malam ini.

Bukannya tadi Rafka berkata bahwa Ana tidak ingin ikut ke rumah sakit?

Lalu, senyum Aiden terbit. Begitu lebar hingga seolah menutupi wajahnya yang pucat. Memberi binar pada kedua netra jernihnya. Tangan Aiden yang bebas menepuk sisi tempat tidur. Ia sedikit bergeser.

"Duduk sini, Bun. Jangan berdiri, nanti Bunda capek," ucap Aiden kemudian.

Ana menggeleng pelan. Membiarkan dirinya tetap terpaku di tempat. Sorot mata Ana tetap terasa dingin, meski Aiden sempat menemukan sedikit kehangatan di baliknya.

Aiden mengerti, walau merasa sedikit kecewa.

"Gimana?" Ana lalu bersuara

"Gimana?" ulang Aiden. Menatap Ana bingung. Senyumnya menghilang begitu saja ketika menyadari maksud pertanyaan singkat yang Ana ajukan. Ia menatap kedua tangan yang berada di pangkuan. "Aku baik, kok. Baik banget malah. Ini aku minta pulang aja, biar rawat jalan. Kak Rafka berlebihan banget, malah bawa aku ke sini."

Jawaban Aiden terdengar begitu santai. Diikuti oleh kekehan kecilnya. Aiden mungkin bisa menjawab jujur, berharap Ana akan bertanya lebih jauh. Namun, ada sedikit perasaan yang membuat Aiden ingin menutupi kondisi yang sebenarnya dari sang bunda.

"Aku lagi minta sama Kak Rafka buat tanda tangan biar aku diizinin pulang. Aku juga nggak betah di sini. Makanannya rasa bawang putih. Mending aku di rumah, bisa makan es krim. Ngomong-ngomong, aku suka rasa odol," lanjut Aiden. Agak tidak penting, namun ada banyak hal yang ingin Aiden katakan pada Ana. Setidaknya, sebelum ia tidak memiliki kesempatan itu lagi.

"Rasa odol?"

"Choco mint. Rasanya kayak odol, 'kan?"

"Begitu."

"Kalau Bunda, sukanya rasa stroberi, 'kan?"

Kedua kelopak mata Ana menyipit sejenak. Menyorotkan rasa heran tanpa suara.

"Tahu dari mana?"

"Dari Sumedang."

Ana diam, tidak merespon sama sekali. Aiden sadar bahwa candaannya tidak lucu, jadi ia berdeham. Melupakan pipinya yang terasa memanas karena malu.

"Ya, soalnya, aku, 'kan, anak Bunda."

Aiden menarik napas panjang. Memutar otak agar obrolan kembali berlanjut. Matanya melirik ke sekitar untuk sesaat.

"Lomba kamu kapan?"

Aiden kembali memfokuskan kedua netra ke arah Ana. Ia sampai lupa pada olimpiade Fisikanya. Terakhir, yang ada di kepala Aiden hanya tiga bulan lagi. Namun, waktu terus berjalan, meski tanpa ia sadari.

"Sebentar lagi," jawab Aiden singkat. "Seingatku, waktu lombaku sama kayak limit waktu hidupku."

Sejenak, Ana terkesiap.

180 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang