Lagi-lagi, Aiden tidak dapat tertidur. Semalaman menatap langit-langit kamar, kemudian beralih pada ponsel dan memainkan permainan yang sudah diunduhnya. Berharap segera masuk ke dunia mimpi, hanya saja, kantuk tidak kunjung datang.
Hangat masih menyelimuti perasaan Aiden. Hanya karena perhatian kecil dari sang bunda. Seperti ada secercah harapan yang menyapa, meski hanya kemungkinan yang hampir mustahil.
Setidaknya, mungkin memang itulah awalnya.
Perlahan, tangan Aiden mengusap lututnya yang terasa nyeri. Efek terjatuh tadi, mungkin. Hingga lebam yang mulai terlihat, walau baru Aiden sadari ketika ia mengganti seragamnya barusan.
Kata dokternya, sih, perdarahan memang dapat terjadi. Katanya, karena adanya kelainan hemostasis. Aiden sendiri tidak terlalu ingat namanya, tapi sekali lagi, seingatnya jumlah trombosit dalam darahnya tidak adekuat.
Mungkin, itu juga yang menyebabkan epitaksisnya tadi siang.
Mungkin juga, malah bisa menyebabkan kematian.
Mungkin ....
Hanya ada banyak kata mungkin di kepala Aiden. Ia tidak paham dengan tubuhnya ketika dalam keadaan normal, apalagi dengan penyakit saat ini. Semua hanya katanya, katanya, dan katanya.
Masih terasa seperti mimpi, bahkan ketika Aiden dimasukkan ke daftar pasien spesialis Penyakit Dalam dan Hematologi Onkologi Medik. Meski masih sedikit tidak percaya, bahkan ketika ia membaca hasil pemeriksaannya sendiri. Mendengarkan penjelasan seperti mendengarkan ucapan gurunya—hanya seperti angin lalu, tapi cukup membuat kepikiran.
Aiden mengubah posisi, hingga ia dapat menatap jendela yang tidak ditutupi gorden. Angin yang berembus membuat ranting di luar bergerak, hingga Aiden merinding sendiri. Berharap tidak tiba-tiba melihat hal yang aneh, jadi Aiden memutuskan untuk mencoba menutup matanya.
Semoga aja ... besok masih bisa bangun.
•••
Setidaknya, hari ini Aiden bangun lebih pagi daripada biasanya. Meski kalau dihitung-hitung, ia hanya tidur selama tiga jam. Kepalanya pening, namun Aiden tidak bisa tidur lebih lama lagi.
Setidaknya, doanya semalam benar-benar tercapai.
Wajah Aiden tidak sesuram kemarin, sehingga teman sekelasnya tidak lagi menjauhi. Senyum yang biasa terulas kini sudah kembali terlihat. Sehingga setidaknya, Aiden bisa berkata bahwa hari ini dimulai dengan begitu lancar.
"Gue kira lo bakal absen lagi." Ucapan itu terdengar ketika Devin duduk di sebelah Aiden. Kedua kelopak matanya menyipit. "Padahal masih pagi, tapi muka lo udah pucat banget. Lo beneran nggak apa-apa?"
"Nggak ada pertanyaan lebih penting? Masih pagi, loh," balas Aiden, tidak menjawab pertanyaan Devin sama sekali. "Kalau gue masih hidup, berarti gue baik-baik aja, 'kan?"
"Ya, nggak salah, sih," gumam Devin. Ia mengalihkan pandangan pada ponsel yang sebelumnya diletakkan di atas meja. Lagu masih mengalun melalui earphone yang digunakan. Lalu, Devin melepas benda yang terpasang di telinganya tersebut. "Tapi, Den, muka lo benar-benar kayak mayat. Lo tadi sarapan? Hari ini kita olahraga, loh. Lo mau izin aja?"
"Aduh, lo perhatian banget, ya, sama gue." Dengan dramatis, Aiden mengusap kedua sudut matanya. Cengirannya kemudian terbit. "Hari ini materinya tolak peluru nggak, sih? Gue pengin banget ngelempar barang."
Devin bergidik ngeri. Ia menepuk pundak Aiden perlahan. "Mendingan lo izin hari ini. Apalagi kalau lo lagi emosi. Gue takut tiba-tiba kena lemparan peluru," ujarnya takut-takut. Masalahnya, Devin tahu sejak masih di jenjang menengah pertama, Aiden memang ahli dengan salah satu cabang olahraga tersebut. Lemparannya cukup jauh, hingga mungkin dapat mengenai penonton yang duduk di teras depan kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?