Tanpa melepas sepatu sama sekali, Rafka duduk di kursi teras. Ia menyandarkan tubuh yang terasa begitu lelah. Kepala Rafka menengadah, menatap langit yang mulai menggelap.
Hari ini sama seperti hari-hari sebelumnya. Rafka harus berangkat ke kampus, meski kemudian kelas dibatalkan. Selebihnya, ada banyak tugas kelompok yang harus dikerjakan.
Menghela napas panjang, Rafka berniat bangkit dari kursi, ketika tiba-tiba ponselnya bergetar panjang. Tangannya meraih benda yang tersimpan di saku jaket. Kedua netranya lalu membaca nama yang tertera di layar.
(Pernah Jadi) Bunda is calling ....
Tanpa menunggu waktu, Rafka menjawab panggilan. Mendekatkan ponsel ke telinganya. Dengan malas, ia berkata, "Ada apa, Bun?"
"Rafka, kamu lagi sibuk, nggak?"
Suara Ana yang agak samar lantas membuat Rafka mengernyit. Ia menatap layar sejenak, sebelum kembali menempelkan ponsel ke telinga. Helaan napasnya terdengar berat.
"Bun, di sana berisik. Bunda lagi di mana, sih?" Rafka membalas. "Aku lagi nggak sibuk. Ada apa?"
"Bunda lagi di rumah sakit. Kamu bisa tolong ke sini?"
"Hah? Bunda sakit?!" Rafka bangkit dari kursi dengan panik. Rautnya kebingungan. Ia ingin bergerak, namun otaknya seperti tidak berjalan. "Rumah sakit mana—sebentar, ini Bunda yang sakit? Atau ...."
Kedua kelopak mata Rafka kemudian melebar. "Hah? Aiden, ya? Aiden, 'kan? Rumah sakit mana? Aku ke sana sekarang."
"Rumah Sakit Amartya—"
"Kakak? Baru pulang? Kamu mau ke mana?"
Rafka yang awalnya hendak bergegas langsung berhenti bergerak. Ia memutuskan sambungan telepon tanpa salam, sebelum membalik tubuh. Berusaha menetralkan ekspresi, Rafka menaikkan kedua sudut bibirnya.
"Eh, Bu." Rafka berucap. "Ini ... ada barang aku yang ketinggalan di kampus."
Sosok Ina, ibu tirinya, terlihat. Sang adik terlihat di gendongan. Meski Rafka sudah menjawab dengan nada yang paling meyakinkan menurut dirinya, namun raut kecurigaan tetap hadir di wajah Ina.
"Kampus kamu belum tutup jam segini?" Ina lagi-lagi bertanya. "Coba bilang sama Ibu. Kamu mau ke mana?"
Rafka diam sejenak. Pada akhirnya, ia mengembuskan napas lesu. "Rumah sakit," jawabnya singkat. "Aiden sakit. Aku harus ke sana. Tolong, ya, Bu. Jangan bilang ke ayah."
"Kenapa kamu peduli sama anak yang jelas-jelas bukan adek kamu?"
"Kata siapa Aiden bukan adek aku, Bu?" Rafka membalas. "Alsha juga bukan adek kandung aku, tapi aku juga peduli, 'kan? Udah jadi naluri aku sebagai seorang kakak."
"Kalau ayah tahu, gimana?"
"Seumur hidup aku bakal benci sama Ibu." Rafka mengancam. "Cuma Ibu yang tahu masalah ini. Kalau ayah sampai tahu, berarti karena Ibu."
"Kamu nggak takut fasilitasmu dicabut?"
Rafka berdecak. Kedua tangannya terkepal kuat hingga buku-bukunya memutih. Tatapannya yang tajam ia alihkan.
"Aku nggak peduli lagi. Terserah kalau fasilitasku bakal dicabut," balas Rafka pada akhirnya. "Sekarang, yang penting adek aku. Dia butuh aku."
•••
Apa yang Aiden lihat ketika membuka mata sepenuhnya berbeda. Ia ingat langit-langit putih yang dilihatnya dua minggu lalu. Terasa nyeri di area punggung tangan. Satu hal yang sama; sosok Ana ada di sisinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?