Aiden mungkin masih bernapas, namun ia rasa dirinya tidak lagi hidup. Bertahun-tahun tahu kalau Ana tidak peduli padanya, baru kali ini, Aiden benar-benar mendengar ucapan yang begitu menyakitkan. Keluar begitu saja dari mulut sang bunda. Tanpa pernah dikira, perasaan Aiden hancur begitu saja.
Seharusnya, Aiden memaksa Devin untuk tidak berkata apa-apa pada Ana.
Harusnya, ia tetap berada di sekolah.
Atau mungkin ... seharusnya Aiden mati saja sejak dahulu.
Aiden duduk di kamar tidurnya seorang diri. Ana pergi begitu saja setelah mengantar pulang. Seperti perkataannya tadi, ia sibuk. Dan Aiden mengganggunya dengan berpura-pura sakit. Padahal, Aiden sempat mengira bahwa Ana mulai peduli.
Memasuki kamar dengan cepat, Aiden mengambil hasil lab yang tergeletak di atas meja. Semalaman ia berusaha untuk mencerna kembali. Berjam-jam ia memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya.
Kematian adalah salah satunya, dan Aiden hanya berharap bunda akan peduli, meski di akhir hidupnya.
Dengan serampangan, Aiden melempar hasil lab tersebut ke atas meja. Dibiarkan di atas tumpukan buku. Kemudian, Aiden duduk di kursi meja belajar. Tangan Aiden meraih salah satu buku yang tergeletak—buku pelajaran favoritnya, Fisika. Salah satu hal yang sering disebut aneh oleh teman-temannya, tetapi selalu Aiden lakukan. Entah itu ketika sedang merasa sedih, kecewa, atau ketika sedang bahagia.
Aiden mungkin aneh karena menyukai pelajaran yang ditakuti oleh banyak pelajar. Ia mungkin akan selalu mendapat tatapan aneh jika mengatakan bahwa hobinya adalah mengerjakan soal fisika. Setidaknya, hal tersebut menjadi sesuatu yang dapat dibanggakan.
Masalah hidup Aiden memang cukup berat, tapi soal fisika yang dikerjakannya tetap memiki jawaban.
•••
Suara bel rumah yang berbunyi lantas membuat Aiden menoleh. Sudah pukul lima sore dan ia baru sadar akan hal tersebut. Seraya merenggangkan tubuh yang terasa kaku, Aiden bangkit dan berjalan ke luar kamar.
Berkali-kali, suara bel terdengar. Seolah, orang yang menekannya tidak memiliki kesabaran. Hal tersebut malah membuat Aiden berdecak. Ia berlari, menapaki lantai dingin.
"Iya, iya. Sebentar!" seru Aiden, meski tahu bahwa orang yang berada di depan pagar tidak akan mendengar suaranya. "Nggak sabaran banget, sih, jadi orang."
Aiden membuka pintu. Tanpa mengenakan sandal terlebih dahulu, ia bergegas menuju pagar. Mengintip dari celah.
"Lama banget!" Seruan itu terdengar. "Gerimis, nih."
Senyum Aiden kemudian terulas lebar begitu mendengar suara tersebut. Dengan cepat, ia membuka pagar. Didapatinya sosok Devin dan Argha berdiri di baliknya, menunggu sang pemilik rumah untuk membukakan pagar.
"Lo lagi ngapain, sih? Lama banget bukanya," omel Devin begitu mendapati Aiden dengan senyumnya yang biasa. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar. "Gue pikir, lo kenapa-napa. Nih, motor lo."
Aiden mengerlingkan kelopak mata kirinya. "Biasa, lagi sibuk pacaran," jawabnya. "Lo juga datangnya tiba-tiba, nggak ngasih kabar."
"Sama Fisika?"
"Sama Fisika."
Devin berdecak beberapa kali sambil menggelengkan kepala. "Bunda lo mana?" tanyanya kemudian. Kedua netranya sedari tadi bergerak, mencari. "Lo, 'kan, lagi sakit. Apa bunda lo nggak nemenin lo dulu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?