Ana selalu membenci keberadaan Aiden.
Bertahun-tahun lamanya berusaha menerima, namun ada satu bagian di hatinya yang membuat Ana tidak akan pernah bisa menyebut Aiden sebagai putranya. Sadar akan kesalahan sendiri, namun pada akhirnya Ana memilih cara yang salah—menganggap bahwa kesalahan terbesar adalah pada Aiden yang terus bertahan hidup, meski dirinya tidak pernah membiarkan.
Berpura-pura bahagia dengan kelahiran laki-laki tersebut. Menganggap bahwa perbuatan yang ia lakukan tidak pernah terjadi. Hingga kemudian, satu ketidaksengajaan membongkar segala rahasia yang sudah Ana simpan rapat-rapat selama bertahun-tahun lamanya. Hanya karena satu hasil pemeriksaan—Aiden memiliki golongan darah yang berbeda.
Rasa marah pada diri sendiri berubah menjadi kebencian. Anak yang tidak bersalah menjadi sasaran. Ana selalu berteriak pada dirinya sendiri bahwa kehadiran Aiden adalah sebuah kesalahan.
Wajah yang tidak pernah bisa Ana tatap dan senyum hangat yang selalu ia benci, membuat Ana kemudian menyibukkan diri. Meninggalkan Aiden seorang diri di keheningan rumahnya yang terasa begitu dingin. Meski dengan sambutan hangat ketika sepulang bekerja, Ana tidak pernah membalas pelukan Aiden.
Selama enam belas tahun, Ana tidak pernah menyayangi Aiden.
Hingga kemudian, di satu hari yang dingin, Ana menyelami netra Aiden. Penuh rasa sakit ketika pada akhirnya tubuh tidak berdayanya terkulai begitu saja.
Ana tidak pernah memperhatikan Aiden, hingga hari itu.
Saat Aiden berbicara padanya, tersenyum dengan senyum secerah mataharinya, Ana tahu bahwa rasa sakit yang ia rasakan selama ini tidak pernah sebanding dengan apa yang Aiden rasakan.
Seperti ada sesuatu yang mengetuk hati Ana, namun ia masih terus tidak mengacuhkannua.
Semua kesialan yang terjadi ... semuanya karena kehadiran Aiden ... bukan?
Sosok kecil yang secara tidak sengaja hadir itu ... adalah sebuah kesalahan, 'kan?
Ana mungkin berusaha untuk tetap tidak peduli, namun ketika Ana sekali lagi mencoba untuk menatap wajah Aiden, ada rasa bersalah yang menekan dada dengan kuat. Senyum yang sendu terlihat begitu menyakitkan. Jemarinya yang dingin berusaha meraih tangan Ana, meski kemudian ia menepisnya.
Ana seharusnya sadar sejak lama.
Hal itu yang selanjutnya ia pikirkan. Berhari-hari pikiran Ana berkecamuk. Keinginan untuk terus membenci perlahan memudar, berganti dengan kasih sayang.
Namun, keinginan Aiden berbeda; ia ingin sang bunda merasakan penyesalan seumur hidupnya.
Oleh karena itu, Aiden membiarkan Ana tidak pernah bisa merengkuhnya, bahkan untuk selamanya.
•satu rahasia yang seharusnya tidak pernah terungkap•
A/n
HUAH KANGEN BANGET. AKU NULIS INI JUGA ISENG BIAR GAK KAKU-KAKU AMAT, MAKANYA NARASI DOANG AHAHAHAHA
KAMU SEDANG MEMBACA
180 Days
Teen FictionSelama ini, Aiden selalu bertanya-tanya. Untuk apa ia dibiarkan hidup jika tidak ada yang menginginkannya?